Bekerja di lokasi yang jauh dari rumah seringkali membuat kita kangen dengan rumah. Salah satu hal yang paling dikangeni kalau sedang berada di jauh dari rumah adalah makanan. Saat ini saya bekerja Misi perdamaian PBB MINUSMA yang berlokasi di Mali sebuah negara dengan wilayah yang luas di Afrika Barat. Jarak antara Bamako ibukota Mali dengan Jakarta yang kurang lebih mendekati 13.000 km kalau ditarik garis lurus, tentu saja jauh sekali dari rumah dan tentunya boleh dong kalo sering-sering kangen. Sayangnya, jangankan rumah makan khas Indonesia, orang Indonesia di negara ini saja boleh dihitung jari. Mungkin hal yang sama dirasakan H. Ismail Coulibaly, yang kemudian membuat tempat makan Sate Domba Afrika di bilangan Tanah Abang yang terkenal itu.
Usut punya usut, ternyata di Bamako ada restoran yang menyediakan makanan Thailand namanya Soukothai. Tentu saja pemiliknya bukan orang Mali, melainkan orang bule dari Belgia yang beristrikan orang Thailand yang juga sebagai juru masaknya. Owner ini juga sangat ramah dan selalu menghampiri tiap meja dan mengecek kepada tamu apa yang masih kurang. Kebetulan saat melewati meja saya dia mengenali saya yang sudah beberapa kali kesana dan berkata “I am sorry that we do not have “sambal terasi atau sambal bajak” people in Mali does not really like hot chilli but I do have sambal, hope the taste is close to sambal bajak” sambil menunjuk ke sebuah tempat kondimen dari keramik di meja yang berisi sambal.
Restoran ini tidak besar, hanya ada mungkin sekitar 10 -12 meja, dengan desain interior yang menggabungkan desain tradisional dan modern. Kursi dan meja terbuat dari besi tempa, dengan kursinya dibuat seperti kursi sutradara dengan dudukan dan sandaran terbuat dari kulit. Beberapa rak terlihat dipenuhi dengan koleksi wine, piring, mangkok keramik serta alat makan stainless yang tertata rapih. Ada beberapa lukisan tergantung, dengan lampu sorot yang diikatkan ke kawat baja menyilang dari satu sudut ke sudut lain. Selain itu juga ada beberapa dekorasi dari Asia dan Mali. Hal yang paling signifikan membedakan dengan restoran lain di Mali adalah ambience dan kebersihan di dalam dining area. Restaurant juga memiliki teras yang tidak digunakan untuk makan tapi hanya sebagai waiting area dan smoking area dilengkapi dengan taman kecil berisi beberapa pohon bonsai dan air mancur kecil. Tempat yang cozy yang membuat kita sejenak lupa sedang ada di Afrika.
Restoran ini buka untuk melayani makan siang dari jam 12:00 – 14:00 serta untuk makan malam jam 18:00 – 22:00 dan mereka cukup kaku dengan jam buka ini. Biasanya saat akhir pekan restoran ini sangat ramai untuk waktu makan malam, sehingga reservasi dibutuhkan supaya memastikan kita mendapat tempat. Untuk harga restoran ini agak premium namun dengan tingkat layanan dan terutama masalah higienitas buat saya ini sangat sebanding dibanding dengan restoran lain di Bamako.
Menu yang disajikan tentu saja menu makanan Thailand lengkap mulai dari makanan pembuka sampai penutup. Menu appetizer favorit saya adalah Nem dalam bahasa perancis atau lumpia ayam, kemudian Tom Yum Kung yang bisa dipilih dengan kuah bersantan atau tidak, dan sate ayam yang dibuat seperti sate yang disajikan di Jakarta dengan bumbu kacang, serta dessert favorit tentu saja mango rice (tapi tergantung musim mangga, biasanya antara bulan Mei – Agustus). Ini adalah menu yang rutin saya pesan tiap kali saya kesini, tapi menu lain seperti nasi goreng, mie goreng dan lain sebagainya juga sangat dipujikan. Porsi yang disajikan juga cukup tidak lebih tidak kurang (tapi mungkin buat orang Afrika kurang). Satu lagi sambil menunggu restoran memberikan cemilan kacang goreng dan kerupuk, sebuah luxury di Mali.
Restoran ini menjadi favorit saya dan rekan saya Byron asal Guatemala yang beristrikan orang Indonesia. Rekan dari Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI (PMPP), Miltary Staff Officer (MSO) dan Kontingen Garuda Heli Unit TNI yang di terjunkan ke Mali sangat senang waktu saya jamu di restoran ini karena mereka bisa makan nasi goreng.
Leave a Reply