Walaupun UN mission di Darfur yang memiliki markas besar di El Fasher ini sudah berdiri sejak akhir 2007, Saya yakin bahwa belum banyak staff internasional PBB yang bertugas disini mengetahui sejarah Darfur dan peninggalan sejarahnya. Medio Januari 2014 yang lalu, Saya dan seorang staff nasional berkunjung ke museum ini untuk menjajaki apakah tim welfare di misi ini bisa mengadakan kunjungan ke tempat ini. Sayangnya saat kemudian tim kami membuat rencana kunjungan ke tempat ini kondisi keamanan di Darfur tidak memungkinkan bagi kami untuk pergi tanpa mendapatkan “clearance” dari pihak keamanan UN. Tapi sedikit cerita bolehlah tentang museum ini hasil kunjungan pertama saya.
Sekilas tentang Sultan Ali Dinar
Sultan dilahirkan pada tahun 1865, dan merupakan Sultan yang paling terkenal akan keberanian dan kekuatan pribadinya. Ia mendirikan Kesultanan Besar Darfur yang independen dan satu-satunya daerah yang belum diduduki kolonial Inggris di Sudan. Inggris belum berhasil mencaplok wilayah ini untuk dijadikan koloni sampai terbunuhnya Sultan Ali Dinar dalam perang Jubbah pada tahun 1916. Sesudah terbunuhnya Sultan Ali Dinar, runtuhlah Kesultanan Darfur.
Nama asli Sultan adalah Zakaria Mohamed Al-Fadl Abdel-Rahman Arrasheed; dia dipanggil dengan sebutan “Dinar by” oleh ibunya karena nakal dan susah diberitahu saat masih kecil. Sultan berpoligami dan Ia menikahi hampir semua suku yang ada di Darfur kecuali Suku Falata. Tujuan berpoligami adalah untuk memperluas hubungan keluarga kesultanan. Sultan memiliki 125 anak laki-laki dan perempuan hasil dari pernikahan poligami ini. Banyak dari istri-istri Sultan hidup sampai usia 100 tahun. Saat ini keturunan Ali Dinar tersebar di dunia Arab, mulai dari Libya, Maroko, Aljazair dan Arab Saudi. Beberapa keturunannya saat ini juga menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan Republik Sudan.
Kiswah untuk Kabah
Ali Dinar terkenal dengan sumbangannya memberikan Kiswah untuk Kabah di Mekah, sebuah tradisi Sultan Darfur sebelumnya yang ia hidupkan lagi. Ia mengirimkan Kiswah setiap tahun dengan karavan pedagang melalui jalur El Fasher – Omdurman – Port Sudan – kemudian Mekah. Kiswah yang dikirimkan terbuat dari bulu burung Unta, beludru dan sutra. Ia juga mengirimkan madu dan mentega yang akan dibagikan pada para jemaah haji di Mekah.
Museum Sultan Ali Dinar
Museum Ali Dinar ini sendiri dulunya adalah salah satu bagian dari Istana Sultan di El Fasher. Sesudah wafatnya Sultan, Komandan pasukan Inggris menjadikan istana sebagai kantornya, dan saat ini menjadi kompleks kantor Wali Negara Bagian Darfur.
Sultan menetapkan El Fasher sebagai ibukota kesultanan Darfur tahun 1898. Pembangunan istana ini sendiri dimulai tahun 1911 dan selesai tahun 1912. Seorang Arsitek keturunan Turki Hajj Abdel Raziq, atau Pasha Bok datang secara khusus dari Baghdad untuk membangun istana ini dengan dibantu insinyur dari Mesir; Ahmed Mousio, Mohamed Atiyah, dan dua orang insinyur dari Yunani; Dmitry dan Thomas yang bertanggung jawab atas furniture. Tiang utama istana dibuat dari batu keras, dindingnya dari bata dan atap dari kayu. Istana ini tidak digunakan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai tempat memamerkan hadiah dan koleksi dari negara sahabat.
Di dalam istana ada dua ruangan Dar Amra dan Atta Al-Mawla, dimana salah satunya digunakan selama masa perang dan yang lainnya untuk acara publik seperti festival dan sebagainya.
Saat ini Museum dibagi menjadi tiga sayap; yang pertama adalah untuk memamerkan peralatan perang, lambang dan bendera kesultanan yang bertuliskan nama-nama kalifah penerus Nabi Muhammad. Sayap kedua berisi barang-barang peninggalan kesultanan, seragam berwarna merah yang digunakan saat perang dan pakaian warna putih yang digunakan saat damai dan acara resmi lainnya.
Sayap ketiga dari museum ini berisi aksesoris dan ornamen yang digunakan sultan misalnya cincin, turban dan Alquran yang di tulis tangan oleh Sultan sendiri dan beberapa dokumen lainnya. Singgasana Sultan sendiri tidak ada dan ditengarai oleh cucu dari Sultan bahwa kolonial Inggris yang mencurinya. Replika singgasana dapat dilihat saat memasuki sayap ketiga ini. Singgasana Sultan berwarna emas terbuat dari lempung berwarna putih, di kiri dan kanannya terdapat dua buah tombak besar yang dulunya digunakan oleh ajudan Sultan.
Sayangnya, kondisi museum seperti kebanyakan museum di Indonesia tidak terawat dengan baik. Koleksi display terlihat termakan usia dan kusam. Ditambah lagi dengan seringnya mati listrik sehingga kondisi didalam museum tidak nyaman dan pengap. Belum lagi, karena terletak dalam kompleks kantor Wali Darfur, ada petugas yang menanyakan detail tamu apalagi karena saya orang asing disana, makin membuat suasana tidak nyaman. Mudah-mudahan saja Pemda Darfur nantinya kalau konflik disana sudah membaik ada perhatian lebih pada peninggalan sejarahnya sendiri.
(foto diambil dari berbagai sumber di internet, karena gak boleh motret sembarangan di daerah konflik kecuali sudah punya ijin tertulis)
Leave a Reply