WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
KERIS TUMBAL WILAYUDA
PROLOG
SUARA beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematiansera suara mereka yang merintih dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana maut yang menggidikkan!
Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma! Pertempuran itu berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa. Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak.
Kutungan-kutungan tangan serta kaki!
Di dalam istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang mempertahnkan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak meski jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan senjata lawan!
Istana yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda seperti suasana dalam neraka! Mayat dn darah kelihatan di mana-mana. Pekik jerit kematian tiada kunung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak poranda. Pihak yang bertahan semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai yang dulu licin berkilat tapi kini dibanjiri oleh darah!
“Wira Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!,” teriak seorang laki-laki berbadan kekar dan berkumis melintang.
Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun mengenakan pakaian perwira kerajaan. Bradja Paksi — kepala balatentara Banten — menggerang dan balas membentak. “Bangsat pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan menyerah!”
Parit Wulung — laki-laki yang berkumis melintang itu — tertawa bergelak. Sebelumnya dia adalah perwira pembantu atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu telah tersesat dan memberontak terhadap kerajaan !
“Mengingat hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!”
Parit Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan Pedangnya pula.
“Trang!”
Bunga api berkilauan.
Tangan Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian
Bradja Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama. Seorang berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti singa.
“Parit Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!”
Melihat siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama segera ke luar dari kalangan pertempuran. “Resi Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk jadi korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!”
Manusia muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk. Tangan kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala balatentara Banten.
Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. “Bergundal pemberontak!”. makinya.
“Nyawamu di ujung pedangku!,” Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat cepat sekali.
“Bret !”
Robeklah pakaian putih Singo Ireng !
Maka marahlah Resi ini. “Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!”.
Tangan kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.
“Bradja Paksi awas! Itu pukulan wesi item!,” terdangar teriakan seseorang yang tengah bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang tengah istana. Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh dan. enteng gesit mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten !
Terkejutlah Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam segera dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka sinar hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan.
Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam, terlempar ke dinding istana lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur pakaian dan tubuhnya hangus hitam!
Resi singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang!
Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia menerjang, tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patahpatah! Sebagai patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna dan hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di hadapan Resi itu.
“Ha… ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…”
“Tak perlu banyak mulut. Terima ini…!” hardik sang patih. Pedangnya bergulung dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo Ireng. Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan pukulan “wesi ireng”-nya.
Melihat lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah rnenjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan “mutiara penabur nyawa!” Parit Wulung yang tahu kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi peringatan pada Singo Ireng.
“Awas, itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !”
Mendengar ini maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen. Sinar hitam dan sinar putih berkiblat saling papas.
“Akh….”
Tubuh patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya berkelojotan seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh.
Sambil gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya. Di situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang. Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng memiliki tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki tampang persis seperti macan!
“Kau tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng, sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam Singo Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan kakaknya itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah menolongnya dengan pukulan “sinar surya tenggelam” tadi!
***
SATU
PADA abad ke 15, Kerajaan Demak diperintah oleh Baginda Trenggono. Di bawah Trenggono maka Demak mencapai puncak kejayaannya. Di masa itu pula adik perempuan Trenggono kawin dengan Fatahillah. Untuk meluaskan daerah perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono merasa perlu untuk menduduki Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah menyerbulah balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki dan sebagai wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau wakil kerajaan Demak karena luas lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah tak ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas dari Demak, Fatahillah membentuk balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan dihormati. Namun demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti sediakala.
Sultan Hasanuddin dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan Banten dibantu oleh penasihat utama seorang tua bijaksana bernama Mangkubumi Mitra serta patih Wira Sidolepen. Disamping itu bantuan kepala balatentara Banten yang bernama Bradja Paksi patut pula disebutkan karena segala sesuatu yang bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan kerajaan terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya. Apalagi mengingat pada masa itu sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak Pajajaran. Bradja Paksi tadinya adalah seorang prajurit biasa di kerajaan Demak. Tapi karena keberanian, kejujuran dan kepandaiannya maka dia menjadi orang kesayangan Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke Banten, Bradja Paksi ikut serta. Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten. Pangkat itu terus dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan jiwanya sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya pada atasan!
Saat itu belum lagi satu bulan Hasanuddin yang muda belia dinobatkan sebagai Sultan atau Raja Banten. Baik patih Wira Sidolepen, maupun penasihat tua Mangkubumi Mitra serta kepala balatentara Bradja Paksi, ataupun Sultan sendiri, mereka tak satupun yang tahu kalau di batang tubuh kerajaan saat itu terdapat musuh dalam selimut yang berbahaya, yang bergerak secara diam-diam!
Dan siapa yang akan menyangka kalau musuh dalam selimut itu adalah Parit Wulung, perwira yang menjadi wakil langsung dari kepala balatentara kerajaan! Hubungan Parit Wulung dengan Bradja Paksi bukan saja sebagai bawahan dengan atasan, tetapi juga sebagai ipar karena adik perempuan Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung. Tapi Parit Wulung telah tersesat. Lupa dia bahwa jabatan yang dipangkunya itu adalah berkat diangkat atas kebijaksanaan Bradja Paksi. Lupa dia bahwa kerajaan yang telah memberi pangkat kedudukan serta kehormatan dan kehidupan mewah. Nafsu hendak berkuasa sendiri, nafsu hendak duduk ditakhta kerajaan sebagai Raja telah merangsang segenap hati dari jiwa raganya!
Dalam mencapai usahanya merebut takhta Kesultanan Banten itu sudah barang tentu dia tak bisa bergerak sendiri. Disamping itu dia tahu pula bahwa untuk mencari pengikutpengikut dari kalangan pihak dalam yaitu perwira-perwira dan menteri-menteri istana tidak mungkin karena semua perwira dan menteri, apalagi patih Wira Sidolepen sangatlah setianya kepada Kerajaan dan Sultan Hasanuddin. Karenanya maka perwira pengkhianat itupun mencari sekutu di luar Banten. Peluang yang sangat baik dilihatnya datang dari kerajaan tetangga yaitu Pajajaran. Beberapa perwira Pajajaran secara diam-diam ditemuinya dan perwira-perwira itu sesudah diberikan janji yang muluk-muluk bersedia mengirimkan ratusan prajurit untuk membantu pemberontakan bila saatnya sudah tiba kelak.
Ratusan prajurit masih belum dirasa mencukupi bagi Parit Wulung. Pengkhianat ini kemudian mendatangi seorang sakti yaitu Resi Singo Ireng yang berdiam di pantai selatan. Resi ini bukan saja mau membantu maksud busuk Parit Wulung karena dijanjikan akan dilimpahkan harta kekayaan yang tiada terkira banyaknya, tapi juga mengikut sertakan kakak kandungnya yang juga seorang Resi yaitu Resi Matjan Seta. Matjan Seta diam di Teluk Kelelawar. Tokoh silat ini baru saja membentuk satu partai silat yang dinamainya Partai Api Selatan. Meski keduanya adalah Resi namun mereka telah terperangkap oleh kesenangan duniawi sehingga masuk ke datam golongan hitam!
Pada hari yang telah ditentukan maka pecahlah pemberontakan menggulingkan kerajaan itu! Ratusan pasukan dari Pajajaran menyerbu. Pertempuran hebat terjadi di seantero Kotaraja dan yang paling hebat adalah sekitar halaman istana. Sebentar saja kaum pemberontak sudah membobolkan pertahanan Banten. Istana dikepung, prajurit-prajurit pemberontak di bawah pimpinan Parit Wulung, Singo Ireng dan Matjan Seta menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri dan orang-orang cerdik pandai yang terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya menemui ajal dipancung secara kejam.
Kepala balatentara Banten, patih Wira Sidolepen dan beberapa orang penting lainnya turut serta menjadi korban keganasan kaum pemberontak itu ! Banten jatuh sebelum hari rembang petang. Prajurit-prajurit Banten yang masih hidup dan terpaksa menyerah bersama-sama rakyat disuruh membersihkan semua mayat-mayat yang bergeletakan di setiap pelosok. Sedangkan di satu ruangan dalam istana Banten terjadi pertemuan panting. Pertemuan penting ini diketuai oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta, Karma Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang terakhir ini adalah penrwira-perwira Pajajaran sekutu Parit Wulung !
“Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta dan saudara-saudara Karma Dipa, Djuapasuta. Kalian lihat sendiri, berkat kerjasama kita maka apa yang kita rencanakan telah berhasil. Kini Banten adalah milik kita bersama. Namun ada beberapa hal yang mengecewakan dilaporkan oleh seorang perwira penghubung pihak kita. Sultan Hasanuddin lenyap tak diketahui ke mana perginya. Kemungkinan besar bersama penasihat tua Mangkubumi Mitra karena orang tua
inipun tak diketahui di mana dia berada saat ini…”. Sampai di situ maka Karma Dipa buka suara. “Kalau mereka hendak melarikan diri dari Banten adalah mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit kita!”
“Itu betul sekali,” jawab Parit Wulung. “Disamping orang-orang kita terus melakukan penyelidikan atas jejak kedua orang itu maka kita juga telah menangkap tiga orang yang diduga keras mengetahui di mana bersembunyinya Sultan!” Parit Wulung bertepuk tiga kali. Pintu ruangan perundingan terbuka. Seorang pengawal masuk. “Bawa ke sini Said Ulon !,” kata Parit Wulung pada pengawal itu. Pengawal ke luar dengan cepat. Sesaat kemudian masuk lagi bersama seorang kawannya membawa seorang laki-laki tua berambut putih. Dialah Said Ulon, kepala rumah tangga istana. Kedua pengawal ke luar lagi.
“Said Ulon, kau tahu dimana Sultan sembunyi, bukan?!” ujar Parit Wulung.
Orang tua itu memandang ke muka sebentar. Hatinya geram sekali melihat tampang Parit Wulung. Dua orang anaknya telah menjadi korban akibat pemberontakan manusia itu. Seperti hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Parit Wulung saat ini. Kedua tangannya berusaha melepaskan ikatan tali tapi tak berhasil.
Melihat ini Parit Wulung segera berkata. “Jangan khawatir, kau akan kulepaskan dan kujamin keselamatanmu bila memberi keterangan di mana Sultan berada…!”
“Ya… memang aku tahu…” berkata Said Ulon.
“Haaaa…” Parit Wulung tertawa lebar. “Di mana?,” tanyanya.
Orang tua itu maju ke hadapan Parit Wulung. “Di sini,” katanya. Dan habis mengucapkan perkataan itu maka diludahinya muka Parit Wulung!
“Jahanam hina dina!” suara Parit Wulung menggeledek. “Sret!” Pedangnya dicabut dan “cras!” maka putuslah leher Said Ulon. Kepalanya menggelinding di lantai tepat di muka pintu. Darah muncrat membasahi permadani yang
menutupi sebagian dari lantai ruangan !
Resi Matjan Seta tertawa mengekeh melihat peristiwa itu. Karma Dipa berkata dengan suara datar. “Seharusnya kita tak perlu membunuh sekaligus manusia itu, Parit Wulung. Kita bisa siksa dia sampai mengaku di mana adanya Sultan Hasanuddin!” Parit Wulung tak menjawab. Noda darah dipedangnya disapukannya kepakaian Said Ulon lalu dimasukkannya ke dalam sarungnya kembali. Kemudian Parit Wulung bertepuk lagi tiga kali. Pintu terbuka. Pengawal yang masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka pintu. “Bawa masuk tukang kuda itu!” kata Parit Wulung.
Tak lama kemudian pengawal membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi. Baik Parit Wulung maupun pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal.
“Siman Tjonet, kau lihat mayat dan kepala di lantai itu?!”
Siman Tjonet si tukang urus kuda-kuda milik istana mengangguk.
“Tentunya kau tak ingin bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana Sultan bersembunyi…!”
“Aku tak tahu…”.
“Ah kau musti tahu. Mungkin sekali Sultan telah melarikan diri bersama beberapa orang dengan menunggangi kuda. Betul…”
“Aku tidak tahu..,” jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi.
Maka. marahlah Parit Wulung. “Dangar Siman…,” desisnya. “Aku tahu bahwa beberapa bulan di muka kau akan kawin. Kalau kau tetap ingin merasakan kenikmatan perkawinanmu itu, cepat beri tahu di mana Sultan berada…” “Kalau kau kasih keterangan…,” menyambung Djuanasuta, “kami akan berikan uang serta perhiasan! Kau akan beruntung seumur hidup…”
“Aku tidak tahu…” “Betul-betul tidak tahu…?!” “Kalaupun tahu aku tidak akan kasih keterangan pada bergundal pemberontak dan pengkhianat macam kau!”
Parit Wulung tertawa buruk. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanannya bersitekan pada hulu pedang. “Jangan jadi orang tolol Siman Tjonet!” berkata Karma Dipa sementara Resi Matjan Seta dan adiknya asyik-asyik makan buah anggur yang terhidang di atas meja. “Bicaralah, kau akan selamat dan jadi orang kaya!”
Siman Tjonet diam saja.
“Agaknya kau lebih suka mati daripada hidup senang. Siman…?” tanya Parit Wulung.
“Disangkanya kalau dia mati akan masuk surga dan ketemu bidadari!” berkata Resi Matjan Seta sambil tertawa dan mengunyah buah anggur dalam mulutnya.
“Aku masuk surga atau tidak itu bukan urusan kalian! Sebaliknya kalian semua kelak akan menjadi puntung api neraka!” jawab Siman Tjonet dengan beraninya.
“Wah… kau benar-benar tidak takut mati, anak muda. Tapi bagaimana kalau sebelum mati aku siksa kau lebih dahulu, heh?!”
“Kalian boleh siksa aku tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!”
“He… he… he..,” Resi Matjan Seta berdiri dari duduknya. Mulutnya masih mengunyah buah anggur. Dia melangkah ke hadapan Siman Tjonet, Tangan kanannya diletakkannya di atas kepala pemuda itu.
“Manusia bermuka setan, pergi!” hardik Siman Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki kanannya untuk menendang tulang kering Resi Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua kakinya terasa sangat berat dan sukar digerakkan. Sementara itu kepalanya yang dipegang terasa panas bukan main. Disamping panas kepalanya juga terasa seperti dicucuki oleh ratusan jarum! Dari kepala rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh si pemuda. Pemuda ini merintih kesakitan. Bila rasa sakit tak tertahankan lagi maka mulailah dia menjerit-jerit setinggi langit. Betapa mengerikan suara jeritan itu terdangarnya. Peluh dingin membasahi seluruh tubuh Siman Tjonet.
“Masih belum mau bicara?!” bentak Parit Wulung.
“Pengkhianat terkutuk! Pembalasan akan datang untuk kalian semua!”.
“Bikin mampus dia Resi Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung.
Sang Resi mengekeh, telapak tangannya semakin keras menekan batok kepala pemuda tukang kuda. Asap mengepul dari telapak tangan laki-laki sakti itu.
Jeritan Siman Tjonet terdangar semakin keras dan berubah menjadi suara erangan. Dari telinga, dari mata dan dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental. Kedua lututnya terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke lantai, nyawanya lepas!
Resi Matjan Seta mengekeh lagi!
Dan Parit Wulung bertepuk lagi. Maka tawanan yang ketigapun dibawa masuklah. Tawanan ini ternyata seorang perempuan muda berparas rupawan. Begitu dia masuk ke, ruangan itu maka menjeritlah dia. Kedua tangannya yang tidak terikat dipakai untuk menutupi muka dan matanya. Kengerian membuat tubuhnya gemetar ketika menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta tubuh pemuda tukang kuda!
Resi Singo Ireng menunda anggur yang hendak disuapkannya ke dalam mulut. Matanya menjalari si perempuan muda mulai dari ujung rambut sampai ke kaki.
“Ah… ah… ah…! Yang satu ini tak boleh dibunuh, Parit Wulung. Dia cukup pantas untuk jadi peliharaanku!,” kata Resi bertampang singa itu.
Parit Wulung tak ambil perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda. “Suri Intan, kau tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan menyakiti kau…”
“Aku tak percaya pada kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri Intan adalah istri Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur dalam mempertahankan kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si pemberontak Parit Wulung maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan Suri Intan terdapat hubungan keluarga yang dekat.
Parit Wulung coba tersenyum mendangar ucapan perempuan itu. “Suri, apakah kau tahu di mana Sultan Hasanuddin bersembunyi? Juga penasihat tua Mangkubumi Mitra…?!”
Si perempuan tiada peduli dengan pertanyaan itu. “Keluarkan aku dari sini!” teriaknya.
“Dewiku manis…!”kata Singo Ireng mengetengahi. “Kau akan ke luar dari sini, aku yang akan bawa kau dan kita berdua akan senang-senang di tempatku di pantai utara. Tapi apa salahnya sebelum pergi kau suka kasih penuturan apa yang kau ketahui mengenai Sultan…”
“Aku tidak tahu apa-apa mengenai Sultan. Yang aku tahu ialah bahwa kalian semua manusia-manusia pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan akan datang kelak atas diri kalian!”
“Ah… ah… ah! Bicaramu hebat sekali manisku…!” kata Singo Ireng. Dia berdiri dari kursinya. Sambil melangkah mendekati Suri Intan dia meneruskan. “Aku suka pada peremppan-perempuan yang pandai bicara…”. Dia berdiri dua langkah di hadapan Suri Intan. Bola matanya berkilat-kilat memandangi perempuan berparas rupawan itu lalu dia berpaling pada Parit Wulung. “Aku yakin betul,” katanya pada Parit Wulung. “perempuan ini pasti tidak dusta dengan keterangannya. Dia tak tahu apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku minta diri saja siang-siang untuk membawa dia ke kamar sebelah…. he… he… he…!”
“Singo Ireng! Jangan ribut soal lampiaskan nafsu saja. Kita harus cari dulu Sultan Hasanuddin sampai dapat…!” Yang bicara ini adalah Matjan Seta, kakak Singo Ireng. “Ladalah..,” menyahuti Singo Ireng.
“Itu urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay sekali memijit. Bukankah begitu dewiku…?” Dan Singo Ireng mencubit dagu Suri Intan.
“Tua bangka hidung belang!” memaki Suri Intan. Tangannya bergerak hendak mencakar muka Singo Ireng. Tapi sekali cekal saja maka perempuan itu sudah tak bisa berdaya lagi!
“Lepaskan aku, lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat tenaga. Entah cekalan Singo Ireng yang kemudian agak kurang ketat, entah karena rontakan Suri Intan yang memang sangat keras maka perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cekalan Singo Ireng. Kemudian secepat kilat dia lari ke pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci dari luar oleh pengawal.
Dalam bingung dan ketakutan sementara itu Suri melihat Singo Ireng mendatanginya dengan menyeringai dan bola mata berkilat-kilat sedang hidung kembang kempis.
“Singo Ireng! Biarkan dulu perempuan itu!” bentak Matjan Seta.
“Sudah diam sajalah Seta!,” menggerendang Singo Ireng. “Sekarang kau terlalu banyak ribut, nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak pintu kamar dan minta diberi bagian!
Puh…!”
Singo Ireng maju ke muka dan ulurkan tangan. “Jangah jamah aku!,” teriak Suri Intan. Dia lari seputar ruangan dan Singo Ireng mengejarnya. Mengejar dengan tertawa terkekehkekeh.
“Manisku, kenapa musti main kucing-kucingan? Tampangku memang buruk. Tapi nantilah, kalau kau sudah rasakan bagaimana pandainya aku di atas tempat tidur, kau akan ketagihan… ha… ha… ha…!”
Suri Intan semakin kepepet ke sudut ruangan.Tiba-tiba terjadilah hal yang tidak diduga oleh Singo Ireng dan siapapun yang ada di ruangan itu. Suri Intan melompat ke samping, membenturkan kepalanya ke dinding ruangan!
Semua orang yang ada di ruangan itu sudah biasa dengan segala macam pemandangan maut, sudah biasa melihat kematian manusia. Tapi mendangar suara beradunya kepala perempuan itu dengan dinding yang keras, menyaksikan bagaimana kemudian Suri lntan terkapar di lantai dengan kepala rengkah berlumuran darah, semuanya sama menjadi merinding bulu tengkuknya! Suasana di ruangan itu seperti di pekuburan sunyinya!
Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Matjan Seta. “Aku bilang apa, Singo Ireng! Kau lihat sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan itu?!”
Singo Ireng tak menjawab. Diputarnya badannya. Dia duduk kembali ke tempatnya. Dan seperti tak ada apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah anggur yang terhidang di atas meja!
Sesudah para pengawal diperintahkan menyeret ketiga mayat itu maka Parit Wulung melanjutkan pertemuan dengan membuka pembicaraan.
“Kurasa mengenai Sultan tak perlu kita bicarakan panjang lebar. Cepat atau lambat orang-orang kita akan segera menangkapnya. Tapi apa yang menjadi pikiranku ialah lenyapnya keris pusaka kerajaan Tumbal yang menjadi syahnya kedudukanku sebagai seorang Raja, nanti!”
“Keris itu pasti dibawa kabur oleh Sultan Hasanuddin!” kata Resi Matjan Seta pula.
“Mungkin, tapi mungkin pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!” Singo Ireng mengetengahi. “Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang yang bisa menolak penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau mereka mau terima nasib digerogoti cacing di liang kubur!”
“Soal itu aku tak khawatir. Tapi dalam hal ini kita berhadapan dengan rakyat. Rakyat hanya akan mengakui aku sebagai raja, bila keris Tumbal Wilayuda ada di tanganku!”
“Kenapa ambil pusing dengan rakyat?,” tukas Singo Ireng. Mereka mau terima atau tidak, mereka mau mampus sekalipun, kita tak perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih dari domba-domba yang bisa kita halau sesuka hati !”
“Tapi, disamping itu keris Tumbal Wilayuda adalah satu senjata sakti dan keramat…,” ujar Parit Wulung.
“Sakti aku percaya, tapi kalau dikatakan keramat itu adalah takhyul!,” menyahut Singo Ireng.
Parit Wulung tak berkata apa-apa namun dalam hati dia merasa tidak senang. Maka berkatalah dia. “Aku minta pada kalian, terutama Resi Matjan Seta dan Singo Ireng untuk mencari Sultan dan menemukan keris Tumbal Wilayuda itu sampai dapat!”
Singo Ireng mengunyah anggurnya lambat-lambat lalu berkata. “Ini tak termasuk dalam hitungan kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya minta aku dan kakakku membantu pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten sudah jatuh dan berada di tangamu, perjanjian kita beres dan kami sudah saatnya menerima balas jasa!”
“Mengenai soal balas jasa Resi berdua tak usah cemas, kalian berdua boleh membawa segala harta kekayaan apa saja dari Banten ini sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi bila kalian bersedia pula membantu mencari dan menangkap Sultan serta menemukan keris pusaka Tumbal kerajaan itu, maka bagian kalian tentu akan lipat ganda !”
Singo Ireng manggut-manggut. “Baiklah,” katanya. “Soal harta aku tidak begitu temahak. Tapi setiap perempuan cantik di Banten ini adalah milikku!”
***
DUA
HARI itu adalah hari kedua sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan kaum pemberontak pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya senantiasa diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan berkeliaran tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap penting terutama di sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.
Pagi itu, pagi ketiga dari berkuasanya kaum pemberontak kelihatanlah dua orang berjalan kaki. Yang satu sudah tua dan terbungkuk-bungkuk. Yang satu lagi masih muda. Keduanya mengenakan pakaian bertambal-tambal serta kotor. Kulit badan dan muka merekapun coreng moreng dan rambut awut-awutan. Dari keadaan kedua orang ini, sepintas lalu saja orang segera berkesimpulan bahwa mereka adalah pengemis-pengemis. Dan setiap orang yang memapasi mereka tentu saja tak akan mau ambil peduli! Namun siapa nyana kalua kedua orang ini adalah dua orang penting yang tengah dicari oleh Parit Wulung dan pentolanpentolan pemberontak lainnya!
Yang tua adalah penasehat istana yaitu Mangkubumi Mintra sedang yang masah sangat muda tiada lain daripada Sultan Banten sendiri yakni Hasanuddin! Sewaktu maletusnya pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung, dengan melalui jalan rahasia kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri. Dan bukan keselamatan mereka saja yang penting, tapi eduanya juga berhasil menyelamatkan keris pusaka tumbal kerajaan yaitu keris Tumbal Wilayuda, keris yang menjadi lambang dan ketentuan bahwa siapa pemiliknya maka dialah pewaris syah dari takhta kerajaan Banten. Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh Parit Wulung bersama pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama membawa buntalan kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan Hasanuddin adalah orangorang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun menghadapi sekian banyak pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris tumbal kerajaan, keduanya memutuskan dengan terpaksa dan berat hati untuk mengundurkan diri. Demikianlah, dengan menyamar kedua orang itu meninggalkan Kotaraja.
Matahari pagi masih belum sanggup memupuskan butiran-butiran embun di daun-daun, namun panasnya terasa sudah memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka berhasil melewati pintu gerbang Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu gerbang itu dijaga ketat oleh duapuluh orang prajurit. Si orang tua Mangkubumi Mintra menarik nafas lega demikian juga Sultan. Namun penasehat tua ini kemudian berkata dengan perlahan. “Kita masih jauh dari selamat, Sultan. Cuma satu pesanku, bila terjadi apa-apa yang tak diingini kau lekaslah menghindar dan lari ke tempat keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon….”
Si pemuda anggukkan kepala. Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah yang memerahkan kedua pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu hubungan antara dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu. Pemuda atau Sultan menghela nafas lagi. “Mudah-mudahan saja kita bisa terus selamat, bapak Mangkubumi,” katanya.
“Memang itulah yang kita harapkan. Semoga Tuhan melindungi kita”. Mereka mendekati perbatasan kini. Di sepanjang perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal semakin banyak. Keduanya diperiksa oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan masing-masing digeledah.
Untunglah Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris Tumbal Wilayuda di dalam lipatan pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan kedua orang inipun selamat pula dari pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi perbatasan.
“Aman sekarang…” kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru saja dia habis berkata begitu maka muncullah serombongan pasukan berkuda. Pimpinan rombongan, seorang perwira pemberontak lambaikan tangan memberi isyarat berhenti pada anak-anak buahnya. Perwira ini membawa kudanya ke hadapan kedua orang tersebut.”
“Pengemis-pengemis hina dina!,” bentak perwira itu. “Apa kalian lihat dua orang pelarian melintas di sini? Keduanya adalah Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan Hasanuddin”. Sambil bertanya begitu mata sang perwira menyorot meneliti kedua orang di hadapannya.
Si orang tua menjawab . “Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…” Jawaban yang hormat dan mempergunakan tutur kata yang halus tinggi dari si orang tua mencurigakan sang perwira. Biasanya pengemis-pengemis macam mereka bicara dalam Bahasa rendahan. Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan di hati perwira itu. “Kami akan geledah kalian!” katanya,
“Ah…, kami hanya pengemis-pengemis yang hina dan terlantar. Apa untungnya menggeledah kami?”
“Memang tak perlu menggeledah manusia-manusia ini raden,” berkata seorang prajurit yang berada di samping sang perwira. “Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau mereka sangat menusuk hidung!”
Si perwira memang menganggap betul katakata bawahannya itu. Tapi bila sepasang matanya yang tajam melihat bagaimana telapak dan jari-jari tangan kedua orang yang dihadapannya sangat halus, bukan seperti tapak dan jari-jari tangan yang biasa dilihatnya pada diri pengemis-pengemis maka memerintahlah dia. “Tangkap manusia-manusia hina dina ini!”
Mangkubumi Mintra yang tahu bahwa penyamamaran mereka pasti akan terbuka, tanpa membuang waktu segera maju ke muka dan berkata “Kalian keterlaluan, manusia-manusia macam kamipun masih hendak kalian ganggu!” Bentakan ini, adalah juga terdorong rasa dendam kesumat terhadap kaum pemberontak.
“Kurang ajar kau berani bicara kasar terhadapku huh!” dengus perwira itu dan segera hunus pedangnya sementara setengah lusin bawahannya segera mengurung mereka.
Mangkubumi Mintra tidak tinggal diam. Dari balik pakaian pengemisnya dikeluarkannya sebilah pedang.
“Hemm… bagus! Sekarang lebih jelas siapa kau adanya kunyuk tua hina-dina!” Perwira itu tetakkan pedangnya ke kepala Mangkubumi Mintra. Si orang tua membentak nyaring dan mundur beberapa langkah sementara enam prajurit lainnya begitu cabut pedang masing-masing segera pula menyerbu.
Mangkubumi Mintra putar pedang dengan deras. Sinar pedang bergulung-gulung. Trang… trang… trang… trang Terdengar suara beradunya pedang susul menyusul! Waktu pedangnya beradu dengan pedang prajurit-prajurit, Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa, tapi ketika membentur senjata sang perwira maka terkejutlah orang tua itu. Tangannya tergetar keras. dan panas! Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang perwira mempunyai kepandaian
tingkat atas!
Maka berserulah Mangkubumi Mintra pada Su1tan Hasanuddin. “Sultan larilah selamatkan diri. Biar aku yang hadapi bergundal-bergundal pemberontak ini!”
“Tidak!” jawab Sultan Hasanuddin. “Mati hihidup kita berdua, bapak!”
“Jangan bodoh Sultan! Lari kataku!”. Si orang tua putar pedangnya lebih sebat. Seorang lawan yang mengurung menjerit keras dan melompat nanar dengan dada robek dimakan ujung pedang!
“Keparat!,” maki perwira pemberontak. Dia melompat dari kudanya. Sambil melompat, laksana seekor alap-alap dia mengirimkan serangan ganas. Pedangnya menderu memepas ke arah batang leher Mangkubumi Mintra. Di saat itu si
orang tua sedang menangkis serangan seorang prajurit. Tangkisan ini terpaksa dibatalkannya dengan melompat dan sebagai gantinya pedangnya diputar untuk menangkis pedang si perwira!
Tapi si perwira rupanya memiliki ilmu pedang dari Cabang Pantai Selatan yang terkenal tangguh karena dengan tak terduga dan sangat cepat sekali serangan yang tadi merupakan satu tebasan dengan tiba-tiba sekali berubah menjadi satu tusukan tajam dan cepat! Si perwira tertawa mengekeh. Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang dianutnya,
yang dinamakan jurus “menabas gunung menusuk bukit!” Tentu saja tangkisan Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti apa-apa. Orang tua ini cepat rubah posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung pedang lawan lebih dahulu menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan mengerikan dari tenggorokan orang tua malang itu.
Di saat itu, Sultan Hasanuddin sudah berhasil ke luar dari kurungan prajurit-prajurit pemberontak dan meskipun hatinya berat namun dia terpaksa melarikan diri, bukan saja untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan keris pusaka Tumbal Wilayuda demi untuk menegakkan kembali kelak Kerajaan Banten! Namun sewaktu telinga mendengar keluhan Mangkubumi Mintra, Sultan hentikan lari dan putar badan. Maka naik pitamlah dia ketika menyaksikan bagaimana orang tua itu tersungkur di tanah bermandikan darah.
“Pemberontak-pemberontak durjana! Aku mengadu jiwa dengan kalian!,” seru Sultan Hasanuddin. Dia menyerbu ke muka namun belum lagi dia melancarkan serangan maka terdengarlah suara mengaung seperti suara tawon. Enam benda putih aneh dan berbentuk bintang yang berkilauan melesat deras ke arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit pemberontak coba hindarkan diri atau menangkis benda itu namun tiada ampun! Kelimanya menjerit keras, rebah ke tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang tiada nyawa!
Perwira pemberontak dalam terkejutnya dan dengan kepandaiannya yang lebih tinggi pergunakan pedang untuk memapaki benda bintang berkilau itu.
“Trang !”
Tampang perwira itu menjadi pucat. Pedangnya memang bisa membuat mental benda maut yang menyerangnya namun senjatanya sendiri putung dua dihantam benda tersebut !
Baik sang perwira maupun Sultan Hasanuddin serentak putar kepala ke arah atas pohon besar dari arah mana datangnya senjata-senjata rahasia tadi.
“Iblis keparat di atas pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira. Sebagai jawaban terdengar suara tertawa bergelak kemudian sesosok tubuh dengan entengnya melayang turun ke tanah dari atas pohon besar itu. Nyatanya dia adalah seorang pemuda bertampang keren dan berambut gondrong. Umurnya mungkin tiada banyak beda dengan Sultan sendiri. Saat itu bajunya tiada terkancing dan angin yang bertiup agak kencang menyibak-nyibakkan baju putihnya sehingga jelaslah kelihatan angka 212 tertera di dada kanannya Pendekar 212.
Melihat si pemuda ini menghadapinya dengan tertawa mengejek demikian rupa maka membentaklah perwira tadi. “Rupanya kau masih belum tahu dengan siapa berhadapan! Masih belum tahu apa akibat campur tanganmu dalam uru…” Ucapan sang perwira cuma sampai di situ. Hampir tak kelihatan Pendekar 212 telah gerakkan tangan dan lemparkan bintang 212 ke arah perwira pemberontak yang sedang bicara itu. Maka “heggg,” terdengarlah suara tercekik dari rangkungan si perwira ketika senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam mulut. Senjata rahasia itu lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut sang perwira. Nasibnya kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang terdahulu!
Sultan Hasanuddin segera dekati Pendekar 212. “Saudara, kau telah tolong. Aku…” Pendekar 212 memberi isyarat. Dia melangkah cepat dan membungkuk di hadapan Mangkubumi Mintra. Ternyata orang tua itu masih bernafas satu-satu. Mulutnya bergerak-gerak.
“Sultan… mungkin dia mau bicara padamu,” memberi tahu Pendekar 212 atau Wiro Sableng. Mendengar itu Sultan Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang tua
Mangkubumi Mintra dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang berbinar-binar. Bila pandangannya menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka tersenyumlah dia. “Sultan, kau tak apa-apa…?”
“Tidak bapak…”. Sultan membelai rambut orang tua itu dan menyeka keringat di keningnya. Keringat dan kening itu sangat dingin seperti es.
“Syukurlah..,” desis Mangkubumi Mintra. “Aku yakin di bawahmu Kerajaan Banten yang syah akan bisa ditegakkan kembali…”
Sultan Hasanuddin mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi karena dilihatnya orang tua itu memalingkan kepalanya kepada pemuda yang telah menolongnya. “Pendekar muda… aku gembira kau datang. Lebih gembira lagi karena kau telah berhasil menyelamatkan Sultan. Tuhan kelak akan membalas jasamu yang besar ini…” Orang tua itu terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia tengah mengumpulkan tenaga baru dari sisa-sisa tenaganya yang terakhir. Lalu mulutnya terbuka kembali. “Yang pasti adalah, bila takhta Banten telah kembali pada pemiliknya yang syah, maka Kerajaan dan rakyat Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini…”
Pendekar 212 coba tersenyum. Dia tahu bahwa keadaan orang tua itu tak mungkin lagi untuk ditolong. Maka berkatalah dia. “Menyesal orang tua, aku tak bisa berbuat sesuatu apa dengan lukamu…”
“Ah diriku yang sudah rongsokan ini tak perlu diambil peduli. Aku gembira menemui kematian dengan cara begini rupa… Gembira karena di saat menjelang kematian ini aku telah dapat melihat sinar terang bahwa Banten pasti akan kembali kepada pewarisnya yang syah…” Mangkubumi memutar matanya pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu namun malaekat maut meminta nyawanya lebih dahulu. Air mata menggenang di kedua mata Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir sendiri untuk menahan keluarnya suara isakan.
Tiba-tiba kening Pendekar 212 kelihatan mengerenyit. Kepalanya diputar ke jurusan timur. “Ada apa…?” tanya Sultan yang saat itu masih belum mendengar suara apa-apa.
“Cecunguk-cecunguk pemberontak itu kurasa…” ujar Pendekar 212. Beberapa ketika kemudian barulah Sultan mendengar suara derap kaki kuda yang banyak sekali, mendatangi ke arah di mana mereka berada saat itu. Disusul beberapa saat lagi maka diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar tinggi kelihatanlah kira-kira dua puluh
prajurit pemberontak yang dipimpin oleh seorang berselempang kain putih bermuka sangat hitam dan berambut gondrong acak-acakan. “Sultan, tinggalkan tempat ini cepat!”
“Tidak bisa sobat! Mangkubumi Mintra terbujur begini rupa dan adalah pengecut sekali meninggalkan kau seorang diri. Apalagi kau adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan ketika dia diminta pergi. “Ini bukan soal pengecut Sultan! Yang penting adalah keselamatan dirimu dan keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di tanganmu.”
Tentu saja Sultan Hasanuddin menjadi kaget mendengar ucapan Pendekar 212. Sewaktu pertama kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan “Sultan” dia telah terkejut dan kini bahkan dia mengetahui pula bahwa keris Tumbal Wilayuda berada di tangannya!
Sementara itu rombongan penunggang-penunggang kuda semakin dekat. Wiro Sableng atau Pendekar 212 berkata lagi. “Pergilah cepat sebelum terlambat! Soal jenazah orang tua ini aku yang akan urus. Selama gunung masih hijau, kelak kita akan bertemu kembali!” Mendengar itu dan lagi memang tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya maka Sultan Hasanuddin segera tinggalkan tempat itu.
Begitu dia lenyap di balik semak-semak maka dua puluh prajurit pemberontak di bawah pimpinan si muka hitam sampai di tempat itu. Dia memberi isyarat. Prajurit-prajurit menyebar. Dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 kini terkurung di tengah lingkaran dua puluh prajurit bersenjata lengkap, di bawah pimpinan seorang tokoh silat yang kosen!
***
TIGA
DIKURUNG begitu rupa Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja seperti saat itu Cuma dua sendirian saja berada di situ. Si muka hitam yang tak lain Resi Singo Ireng kaki tangan Parit Wulung adanya, menyapu tebaran-tebaran mayat di hadapannya dengan pandangan sedingin salju. Yang agak mengherankan Resi muka hitam ini ialah mengapa di antara mayat-mayat pasukan Parit Wulung juga terdapat mayat Mangkubumi Mintra. Tak mungkin si pemuda rambut gondrong itu yang telah menebar mayat kecuali jika dia mempunyai dendam kesumat terhadap kedua belah pihak yaitu pihak pasukan dan Mangkubumi Mintra. Disamping itu dengan adanya mayat si orang tua tergeletak di situ, pastilah sebelumnya Sultan Hasanuddin juga berada di situ! Singo lreng memang berpikiran tajam. Melihat kepada pakaian Mangkubumi Mintra tahulah dia bahwa penasihat istana itu berusaha melarikan diri dari Banten dengan menyamar sebagai pengemis!
“Mana Sultan?” bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar.
Pendekar 212 tidak menjawab. Malahan dia memandang seperti tiada melihat apa-apa berada-disekelilingnya saat itu! Dia menengadah ke atas memperhatikan matahari yang menaik tinggi.
Melihat sikap yang sangat menghina ini, apa lagi di hadapan sekian banyaknya prajurit tentu saja Resi Singa Ireng menjadi sangat penasaran serta malu. Mukanya yang hitam kelihatan semakin tambah hitam. “Bocah gondrong! Apa kau tuli atau gagu? Orang bertanya tidak dijawab?!”
Pendekar 212 masih tidak menyahut. Malah kini jari-jari tangan kirinya mencungkilcungkil tepi lubang hidungnya kemudian dia berbangkis dua kali berturut-turut!
“Keparat!” bentak Singo Ireng dengan- suara menggeledek.
“Eeeeh… kau memaki pada siapakah?!” bertanya Pendekar 212 sambil putar kepala seperti baru saat itu disadarinya bahwa dia tidak berada sendirian di tempat itu!
“Prajurit-prajurit! Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya. Maka dua puluh prajurit pemberontak melompat turun dari kuda masing-masing, hunus senjata dan bergerak cepat mendekati Pendekar 212.
“Bergundal pemberontak,” berseru Wiro Sableng atau Pendekar 212. “Kalau kau ingin tangkap aku mengapa tidak
turun tangan sendiri?!”
Di saat itu dua puluh prajurit sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212. “Kalian kunyuk-kunyuk pemberontak hanya datang minta digebuk!” ujar Pendekar 212 dengan tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan dahsyat. Lima prajurit yang paling dekat dan hendak turun tangan menangkapnya terpelanting dan bergetimpangan di tanah tiada nyawa lagi!
Tersiraplah darah Resi Singo Ireng! Tiada disangkanya pemuda gondrong bertampang bodoh itu mempunyai kehebatan demikian rupa! Maka berserulah dia! “Tak perlu budak hina dina ini ditangkap hidup-hidup. Cincang di tempat!”
Maka lima belas senjata tajam berkiblat ke arah Pendekar 212.
“Heiyaaah !”
Tubuh Siro Sableng mencelat tiga tombak ke atas, Seluruh serangan senjata lawan lewat di bawah kakinya. Detik senjata-senjata itu menderu memapas angin kosong maka detik itu pula dengan kecepatan yang hampir tak sanggup disaksikan oleh mata Pendekar 212 menukik ke bawah merampas pedang salah seorang prajurit. Dan ketika pedang itu menderu laksana kitiran maka lima prajurit meregang nyawa mandi darah, dua lainnya luka parah!
Dalam kejutnya menyaksikan gebrakan yang dahsyat itu Resi Singo Ireng melihat satu bayangan berkelebat ke arahnya. Dia tarik tali kekang kuda dengan cepat. Namun sebelum binatang tunggangannya itu sempat bergerak, tubuh kuda ini sudah angsrok ke tanah! Keempat kakinya terbabat putus. Binatang ini berguling di tanah melejang-lejangkan kakinya yang buntung dan meringkik tiada henti! Untung saja Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang terjadi sehingga lekas-lekas dia melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam membesi, mata menyorot!
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak sementara prajurit-prajurit yang masih hidup dengan nyali menciut segera menjauhi ini pemuda yang dianggap mereka sangat berbahaya.
“Pemuda gondrong! Kehebatanmu cukup untuk dikagumi! Tapi bila kau tahu dengan siapa saat ini berhadapan, maka lekaslah berlutut minta ampun!” berkata Singo Ireng.
“Uh! Sama manusia jelek macam kau buat apa perlu takut!”. ujar Wiro Sableng dan tawanya semakin menjadi-jadi!
“Ah… kalau begitu kau sebutkanlah nama! Terhadap manusia-manusia yang punya sedikit ilmu, aku tidak begitu senang jika membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih dahulu!”
“Kalau butuh namaku aku tak keberatan. Majulah biar kutulis dijidatmu!” kata Wiro Sableng pula sambil acungkan jari telunjuk!
Menggeramlah sang Resi bermuka hitam itu. Selama dunia terbentang, selama malang melintang dalam dunia persilatan, baru hari itulah dia dihina dan direndahkan terus-terusan oleh seseorang! Oleh seorang yang berusia jauh lebih muda dari padanya. Dari balik pakaian Resi ini keluarkan sebuah senjata berbentuk aneh yaitu sebuah besi panjang yang ujungnya berbentuk Iingkaran.
“Kalau kau punya senjata pusaka, sebaiknya lekas keluarkan supaya mampus tidak rnenyesal!”
“Tak perlu banyak cerewet!” semprot Pendekar 212. “Majulah! Senjataku cukup pedang butut milik cecungukmu yang sudah mampus itu!”
Resi Singo Ireng yang berbadan kate ini segera maju dan hamburkan serangan dahsyat. Senjata anehnya mengeluarkan suara menderu, menimbulkan angin yang deras dan tajam. Ujung senjata yang berbentuk lingkaran itu berubah laksana ratusan banyaknya! Searang lawan yang berilmu tanggung dan bermata tidak awas akan sulit membedakan mana lingkaran senjata yang asli dan mana yang bukan. Dalam lawan kebingungan maka senjata itu akan menyeruak lewat kepalanya dan sekali putar saja pastilah patah dan putus batang leher dibuatnya! Inilah kehebatan senjata sang Resi dari pantai selatan itu!
Namun yang dihadapi Singo Ireng dihari itu bukanlah seorang lawan berilmu tanggung, bukan seorang pemuda yang hanya mengenal sejurus dua ilmu silat! Begitu senjata lawan membadai menghampiri kepalanya, Wiro Sableng cepat merunduk dan selinapkan satu tusukan deras kearah perut sang Resi!
Kaget Singo Ireng bukan olah-olah! Cepat dia undur dua langkah dan papasi pertengahan senjata lawan dengan tongkat besi lingkarannya.
“Trang” ! Dua senjata beradu
Karena senjata ditangan Singo Ireng adalah senjata mustika sedang pedang ditangan Wiro hanya pedang biasa maka patahlah pedang itu! Tapi sebaliknya Singo Ireng merasakan bagaimana tangannya tergetar hebat dan panas pada bentrokan itu! Maklumlah dia bahwa pemuda itu mempunyai tingkat tenaga dalam yang hebat sekali! Karenanya sang Resi tanpa memberi peluang segera lancarkan serangan-serangan dahsyat! Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus yang hebat yaitu jurus “memetik bunga membelah buah” lalu disusul dengan jurus “delapan gunung meletus gegap gempita”! Diserang dengan dua jurus ini berikut pecahan-pecahannya yang tak kalah dahsyat maka Pendekar 212 menjadi repot juga.
Namun bila dia sudah mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat dari sela bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi terdesak. Meski terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup pertahankan diri sampai sepuluh jurus dimuka!
“Manusia bermuka jelek! Permainan silatmu baleh juga. Tapi apa kau sanggup menerima pukulanku ini?!” tanya Pendekar 212. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, kedua mata dipejam. Kemudian kedua tangan itu mulai berputar-putar dengan sebat! Maka menggemuruhlah suara angin. Debu dan pasir beterbangan, membuat gelap pemandangan!
“Pukulan angin puyuh!” seru Resi Singo Ireng sambil bersurut mundur. Mulutnya komat kamit membaca aji penangkis. Kedua kakinya melesak kedalam tanah sampai dua dim! Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian putih serta rambutnya yang awut-awutan berkibar-kibar!
Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan kedua tangannya kemuka. Tubuh Singo Ireng mencelat kebelakang sampai lima tombak. Ketika dia berdiri maka tubuhnya terbungkuk tertatih-tatih, hidungnya kembang kempis tanda nafasnya memburu tak teratur. Nyatalah bahwa Resi kosen ini telah menderita luka parah didalam akibat pukulan Wiro Sableng tadi. Senjatanya mental entah kemana! Wiro tertawa mengekeh. Sebaliknya lawannya menggeram laksana harimau terluka. Mulut terkatup rapat-rapat, rahang bertonjolan, pelipis bergerak-gerak sedang mata menyorot merah!
“Pemuda, hari ini aku Resi Singo Ireng biarlah mengadu jiwa pada kau!”. Sang Resi angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Detik demi detik tangannya itu menjadi hitam legam. Tangan ini bergetar karena seluruh tenaga dalamnya dipusatkan kesitu!
Wiro Sableng tertawa mengejek. “Rupanya kau sengaja mau bunuh diri manusia kate bertampang jelek! Dalam keadaan terluka di dalam, melancarkan pukulan demikian rupa kau akan konyol sendiri!”.
Singo Ireng memang memaklumi hal itu. Tapi dia sudah kepalang tanggung, sudah teramat malu dan sudah meluap amarahnya! “Aku mati tapi kau juga mampus ditanganku, keparat!” bentaknya.. Maka tangan kirinyapun turun kebawah dengan cepat. Selarik sinar hitam yang menggidikkan menyambar kearah Pendekar 212! Itulah ilmu pukulan “wesi item” yang telah membinasakan Braja Paksi, kepala balatentara Banten!
Pendekar 212 melompat ke atas sampai enam tombak. Angin pukulan “wesi item” terasa panas seperti mau melumerkan kedua kakinya. Pendekar ini gigit bibir menahan perih lalu 1ancarkan serangan balasan yaitu pukulan yang tak asing lagi. “kunyuk melempar buah”!
Di seberang sana tubuh Resi Singo Ireng kelihatan jungkir balik kemudian jatuh duduk di tanah dan muntah darah, lalu rebah tiada sadarkan diri! Sebenarnya pukulan “kunyuk melempar buah” itu belum tentu akan mencelakai sang
Resi. Namun karena dalam keadaan terluka di dalam dia telah rnelancarkan pukulan yang keras dengan mengandalkan seluruh tenaga dalam maka dia rasa sendiri akibatnya. Masih untung nyawanya tidak terbang!
Wiro Sableng tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati tubuh Resi itu. Prajuritprajurit yang masih hidup, yang dedikkan mata melihat bagaimana jago mereka dibikin babak belur demikian rupa segera bersurut menjauh.
“Resi muka arang!,” kata Pendekar 212. “Kau tanya siapa aku. Inilah kutuliskan aku punya nama!”. Dan habis berkata demikian pendekar ini segera guratkan angka 212 dikulit kening yang hitam dari Singo Ireng. Kemudian nendekar ini berdiri kembali. “Kerak-kerak pemberontak!,” katanya pada perajurit-perajurit yang masih hidup. “Kalian boleh menggotong manusia bermuka pantat kuali ini ke Kotaraja! Jika hari ini aku tiada cabut nyawanya dan nyawa kalian, maka di lain hari bila bertemu kembali jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian! Sampaikan ini padanya bila dia sudah siuman!”. Dan sesudah bicara demikian Wiro Sableng segera tinggalkan tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi Mintra.
***
EMPAT
DENGAN hati penuh duka sedih mengenang kematian Mangkubumi Mintra yang sengaja korbankan nyawa untuk selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin berlari sepanjang tepi rimba belantara dikaki bukit. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan. Dan ini bukan saja menambah besarnya dendam kesumat di hati Sultan terhadap Parit Wulung dan benggolanbenggolan pemberontak lainnya tapi juga mempertebal tekatnya bahwa di suatu ketika dia pasti akan kembali ke Banten dan membangun Kerajaan Banten yang syah!
Menjelang senja dia mencapai sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini bernama Asoka. Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para pedagang dari pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu banyak yang mendirikan gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya, kemudiannya lagi mereka juga mendirikan rumah-rumah sehangga lambat laun dari pangkalan dagang maka berobahlah Asoka menjadi sebuah kota. Sebagai kota dagang tentu saja sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian ini terus berlangsung sampai jauh malam.
Sehabis mendapatkan sebuah penginapan, Sultan mengelilingi kota melihat-lihat keramaian dan mengisi perut disatu kedai. Ketika bulan sabit di atas langit tertutup oleh awan tebal berwarna gelap maka Sultanpun kembali kepenginapannya. Matanya yang tajam segera melihat adanya ketidakberesan dalam kamar dimana dia menginap. Seperai agak kusut bantal-bantal tidak terletak ditempatnya semula sedang bungkusan kecil yang berisi beberapa potong pakaian serta sejumlah uang yang diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali bekas dibuka dan digeledah orang.
Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang hilang!
Sultan merasa masygul. Dia memandang berkeliling. Di dinding sebelah sana terdapat sebuah jendela. Jendela itu masih tetap sebagaimana tadi ditinggalkannya. Tak ada tanda-tanda bekas pengrusakan. Siapa gerangan yang telah masuk ke dalam kamar dan melakukan penggeledahan? Mungkin seseorang, mungkin beberapa orang? Kalau dia atau mereka itu dari golongan si tangan panjang atau pencuri, mengapa tidak sepotong barang dan tak sepeser uangnyapun yang hilang? Kekhawatiran Sultan Hasanuddin semakin besar karena dia berkesimpulan bahwa siapapun manusianya yang telah memasuki kamarnya pastilah untuk mencari dan mencuri keris pusaka Tumbal Wilayuda!
Sultan Hasanuddin merasa bersyukur karena sewaktu pergi tadi dia telah membawa keris tumbal kerajaan itu. Kalau tidak pastilah senjata itu sudah lenyap dilarikan orang! Malam itu Sultan sengaja tidur dengan mematikan lampu minyak di dalam kamarnya. Matanya hampir terpicing ketika lapat-lapat sepasang telinganya mendengar suara gemerisik di atas loteng bangunan. Suara itu pasti sekali bukan suara kucing. Sultan pasang telinganya lebih tajam. Suara gemerisik tadi lenyap dan kini dia hanya mendengar suara rintik-rintik hujan gerimis di luar sana. Perlahan-lahan Sultan pejamkan matanya kembali. Tapi ketika hampir pulas matanya itu terpicing, suara gemerisik tadi didengarnya kembali. Kali ini Sultan bangun dari pembaringan dan melangkah kesudut kamar. Dia menunggu dengan tangan kanan menempel erat-erat dihulu pedang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka! Sultan terkejut. Dia ingat betul bahwa pintu kamar itu telah dikuncinya tadi, bagaimana kini bisa terbuka semudah itu tanpa suara dan siapakah yang nlembukanya?! Sultan tak menunggu lebih lama. Sesosok tubuh manusia yang sangat pendek masuk mengendap-endap ke dalam. Manusia ini memakai jubah panjang. Karena tubuhnya yang kate maka jubahnya menjela-jela sampai kelantai. Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke kiri dan melompat. Sebuah benda besar ditangannya yaitu sebilah golok empat persegi panjang menderu ke arah dimana Sultan berdiri. Sultan sendiri yang saat itu memang sudah siap siaga cabut pedangnya dengan cepat dan menangkis!
“Trang”!
Bunga api memercik. Karena kamar itu gelap maka sinar percikan bunga api menjadi terang sekali dan menerangi kedua muka manusia yang berada disitu. Keduanya saling meneliti paras lawan masing-masing!
Terkesiaplah Sultan Hasanuddin ketika melihat bagaimana wajah manusia yang dihadapinya itu seramnya bukan main. Rambutnya kaku berdiri laksana ijuk. Manusia ini memelihara berewok yang meranggas lebat. Alisnya tebal, sepasang matanya besar merah. Bibirnya sumbing dan dua buah giginya yang besar tersembul keluar. Manusia ini boleh dikatakan tiada mernpunyai hidung karena daging hidungnya sama rata dengan pipinya yang cekung! Dan bau badannya yang busuk sangat menusuk hidung!
“Manusia buruk! Jika kau tidak tinggalkan kamar ini dengan cepat, jangan menyesal bila kukirim ke akhirat!” ancam Sultan.
Manusia bermuka seram itu tertawa dingin. Dia hembuskan nafasnya yang busuk kemuka. Sultan tutup jalan nafas di hidung dan untuk kedua kalinya pergunakan pedang guna menangkis serangan lawan. Tapi kali ini keadaan tidak seperti tadi Iagi. Meski Sultan sanggup menangkis senjata lawan namun pedangnya sendiri terlepas mental, tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba satu tangan mendorongnya hingga dia terbanting dengan keras ke dinding!
Ketika dia imbangi diri kembali, kaget Sultan tiada kepalang. Matanya membeliak menyaksikan bagaimana keris Tumbal Wilajuda kini sudah berada di tangan manusia bermuka seram itu!
“Maling hina dina! Kembalikan kerisku!” teriak Sultan.
Simuka buruk hamburkan tertawa mengekeh. “Masih untung aku hanya minta kerismu ini, dan bukan nyawamu!”. Habis berkata begini manusia muka seram itu sekali gerakkan badan tubuhnya menerjang ke muka mendobrak jendela untuk kemudian lenyap lewat jendela yang ambruk itu dikegelapan malam!
“Pencuri terkutuk!”. Sultan melesat pula ke luar jendela. Dia masih sempat melihat bayangan pencuri itu di balik sebuah gudang tua dan segera mengejar ke situ. Kejar mengejar itu berjalan hanya sebentar saja karena sejurus kemudian si pencuri lenyap seperti gaib ditelan bumi!
Sultan berdiri gemas memandang berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari si pencuri di malam buta begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah seorang pula dari kaki tangan Parit Wulung?! Tengah kebingungan begitu rupa tiba-tiba Sultan menangkap suara bentakan-bentakan orang yang tengah berkelahi. Cepat Sultan lari ke balik sebuah bengkel kuda dan dalam kegelapan dilihatnyalah dua manusia tengah bertempur dengan hebat. Salah seorang tiada lain dari pada si pencuri yang tengah dicari-carinya sedang orang yang kedua sesudah diperhatikan dengan teliti ternyata dia adalah pemuda rambut gondrong yang pagi tadi telah menolongnya di perbatasan.
“Sobat! Serahkan pencuri terkutuk ini padaku!” seru Sultan.
“Ah… selamat jumpa Sultan,” menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212. “Tak perlu kotorkan tangan pada manusia bau bangkai ini…!”
“Dia mencuri kerisku, sobat!” memberi tahu Sultan.
“Aku tahu. Biar aku yang ringkus dia!” Begitu mendengar si pemuda yang menyerangnya memanggil “Sultan” ‘terhadap lakilaki yang datang itu terkejutlah si mulut sumbing. Dibalik terkejut hatinya juga senang. “Ha…ha… jadi saat ini aku berhadapan dengan Sultan dan tukang pukulnya? Bagus! Kerisnya aku sudah dapat, kini Sultannya sendiri datang antarkan diri untuk ditangkap hidup-hidup. Pasti aku mendapat hadiah berlipat ganda dari Parit Wulung…”
“Hem… jadi betul dugaanku bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?! Terima pukulanku ini, pencuri hina dina!” Sultan lepaskan tiga pukulan sekaligus! Tapi yang diserang ganda tertawa dan kebutkan lengan pakaiannya yang bertambal-tambal. Serangkum angin dahsyat rnenyerang ke arah Sultan. Namun angin pukulan itu buyar di tengah jalan, kena dihantam angin pukulan lain yang datang dari samping!
Si muka seram menggerong. “Agaknya malam ini Pengemis Bibir Sumbing musti rampas dua jiwa sekaligus!”.
Sultan tersurut sewaktu mendengar manusia kate itu kenalkan diri. Pendekar 212 sendiri juga terkejut. Nama Pengemis Bibir Sumbing memang sudah sejak lama terkenal sepanjang pesisir Jawa Barat. Bersama dua orang lainnya maka Pengemis Bibir Sumbing dikenal sebagai pemegang pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! Tiba-tiba Pengemis Bibir Sumbing lemparkan golok besarnya ke arah Pendekar 212. Senjata ini dengan mudah bisa dielakkan. Begitu habis lemparkan golok, Pengemis Bibir Sumbing acungkan kedua tangan datar-datar ke muka dengan telapak tangan menghadap ke atas.
“Telapak tangan minta sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan yang bakal dilancarkan lawan.
“Sultan mundurlah!,” serunya kemudian memperingatkan. Tapi disaat itu Pengemis Bibir Sumbing sudah mencelat ke muka dan membagi-bagi serangan telapak tangannya pada Pendekar 212 dan Sultan! Tahu bahwa pukulan lawan sangat berbahaya maka Pendekar 212 segera hantamkan tangan kanannya ke muka. Gelombang angin deras memukul ke arah Pengemis Bibir Sumbing. Meski tubuhnya sendiri kemudian terpelanting sampai tiga tombak oleh serangan lawan namun Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya masih sanggup hantamkan telapak tangannya ke dada Sultan!
Sultan Hasanuddin mengetuh tinggi. Tubuhnya bergoncang, dadanya seperti melesak. Terbungkuk-bungkuk dia berbatuk. Darah segar menyembur!
Pendekar 212 bersuit keras! Tubuhnya lenyap pada detik Pengemis Bibir Sumbing coba lepaskan pukulan “telapak tangan minta sedekah nyawa” untuk kedua kalinya. “Sultan, cepat telan pil ini!” teriak Wiro Sableng.
Sultan Hasanuddin sambuti pil yang dilemparkan Pendekar 212 lalu menelannya dengan cepat Kemudian segera duduk bersila mengatur jalan darah serta pernafasan, juga alirkan tenaga dalam kebagian yang terluka.
Disaat Wiro Sableng berkelabat maka lenyaplah tubuhnya dari penglihatan Pengemis Bibir Sumbing. Karena hanya terdengar suaranya saja, maka Pengemis Bibir Sumbing kembali lancarkan pukulan ganas dua kali berturut-turut ke arah suara lawan. Tapi Pendekar 212 tidak bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing salah perhitungan. .
“Plaak”!
Pengemis Bibir Sumbing terpental empat tombak ke belakang. Kepalanya serasa pecah sedang kulit keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit keningnya itu kini kelihatan tiga buah angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap amarahnya. Tanpa hiraukan rasa sakitnya pada keningnya dia menerpa kemuka kirimkan lima pukulan empat tendangan! Pendekar 212 mendengus dan bersiul nyaring. Tangan kanan menghantam ke muka. Angin pukulan menderu, menyusup di antara serangan lawan!
Untuk kedua kalinya Pengemis Bibir Sumbing terpental. Kali ini sampai delapan tombak dan kali ini terus terguling ke tanah dengan mulut memuntah darah! Tamatlah riwayatnya! Sultan yang menyaksikan pertempuran hebat itu dalam sakitnya leletkan lidah penuh kagum! Pendekar 212 mendekati mayat Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal Wilayuda lalu menyerahkan kemhali pada Sultan.
“Keris pusaka bagus! Karena senjata ini banyak yang ingini sebaiknya disimpan lebih hati-hati, Sultan”.
Sultan menghela nafas panjang. “Terima kasih,” katanya. “Dua kali kau telah menolongku sahabat. Siapakah engkau?”
“Namaku Wiro Sableng,” jawab Pendekar 212. “Kalau aku boleh kasih nasihat, baiknya kau tak usah kembali kepenginapan, tapi segera teruskan perjalanan”.
“Mengapa begitu?” tanya Sultan.
“Terlalu banyak manusia-manusia macam Pengemis Bibir Sumbing ini yang mencarimu dan inginkan keris Tumbal Wilayuda”.
Sultan merenung sejurus. “Terima kasih atas nasihatmu, sahabat! Karena kau telah berbuat baik kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal kulupakan sebagai budi besarmu, bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku meneruskan perjalanan?”
“Ah… itu satu kehormatan besar bisa seiring denganmu, Sultan” jawab Pendekar 212 ramah. “Tapi harap maafkan.. Aku masih banyak urusan. Namun demikian, aku berjanji tidak akan berada jauh dari padamu…”
“Kalau begitu baiklah, aku tidak memaksa’,” ujar Sultan. Dari balik pakaian samarannya yang bertambal-tambal dikeluarkannya sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya benda itu kepada Pendekar 212 tapi sang pendekar tak berani menyambutinya.
“Sobat, terimalah!” kata Sultan pula.
“Benda apakah ini Sultan?”
“Terimalah dulu”.
Wiro menerimanya. Benda itu ternyata sebuah bintang bersudut delapan yang terbuat dari emas dan di tengah-tengahnya dihiasi dengan sebutir berlian yang berkilauan. “Benda itu adalah bintang utama Kerajaan Banten, yang diserahkan kepada siapa saja yang telah membuat jasa terhadap Raja dan rakyat Banten, Wiro…”
“Ah… mana aku pantas terima hadiah ini Sultan?” kata Wiro Sableng pula dengan kerendahan. Tapi sultan memaksakan juga agar Pendekar 212 menerima anugerah itu. Wiro menyimpan benda tersebut baik-baik dibalik pakaiannya. “Terima kasih,” katanya. “Lalu karena penyamaraanmu sebagai pengemis sudah diketahui oleh golongan rampok dan penjahat, sebaiknya ditukar saja, Sultan”
“Aku memang sudah merencana begitu” kata Sultan pula.
Sekali lagi mereka saling ucapkan terima kasih. Pendekar 212 menjura minta diri dan keduanyapun berpisahlah.
***
LIMA
KELUARGA Wirja Pranata adalah keluarga bangsawan besar di Ujung Kulon. Selagi muda antara Wirja Pranata dan Fatahillah terdapat jalinan persahabatan yang erat sehingga di suatu ketika kedua sahabat itu berjanji bahwa bila mereka nanti salah satu memiliki anak laki– laki dan anak perempuan, dikemudian hari kelak keduanya akan dijodohkan. Puteri bangsawan Wirja Pranata yaitu Anjarsari memang sudah lama tahu bahwa dirinya dijodohkan dengan Raja Banten. Namun sampai sebegitu jauh belum pernah sekalipun dia bertemu muka dengan calon suaminya itu. Dan ketika Sultan Hasanuddin muncul di sore hari itu maka terkejutlah bangsawan Wirja Pranata.
“Sultan, apakah yang telah terjadi ? Mengapa datang tanpa pengiring dan dalam pakaian begini rupa?”
Sultan Hasanuddin menggigit bibir menahan gelora hatinya. Sesudah apa yang menggejolaki hatinya berkurang maka mulailah dia beri penuturan. Hal itu mengejutkan seluruh keluarga bangsawan Wirja Pranata, termasuk Anjarsari yang curi mendengar penuturan itu dari balik dinding kamar tidurnya.
Beberapa lamanya kesunyian menyeling. Bangsawan Wirja Pranata dan isterinya duduk termanggu tanpa bisa berkata apa-apa. Sultan sendiri juga terdiam beberapa Iamanya. Ketika Sultan dipersilahkan kebelakang untuk membersihkan diri maka diamdiam Anjarsari mencuri intip dari sela pintu. Hatinya berdebar dan darahnya berdebur-debur. Ah, nyatanya Sultan yang bakal suaminya itu seorang pemuda yang berparas gagah berkulit kuning halus, hampir sehalus
kulit perempuan! Hatinya berbunga-bunga. Kapan ayah atau ibunya akan menyuruhnya keluar dan berkenalan dengan Sultan? Dan mengingat ini dada si gadis semakin menggemuruh. Ketika dia menghadap ke kaca maka jelaslah kelihatan bagaimana parasnya ke merah-merahan!
Ketika senja berlalu dan hari beralih menjadi malam maka barulah Anjarsari disuruh keluar oleh ibunya. Pertemuan dengan Sultan benar-benar membuat lututnya gemetar, tapi juga membuat hatinya mekar. Gadis ini tundukkan kepala, parasnya bersemu merah. Sultan sendiri juga tundukkan kepala. Apa yang dikatakan ayahnya bahwa calon isterinya adalah seorang gadis cantik sekarang menjadi kenyataan. Diam-diam pemuda ini melirik dengan sudut matanya.
Bangsawan Wirja Pranata berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah dia pada calon mantunya itu . “Apakah rencana Sultan selanjutnya?”
“Saya merencanakan untuk pergi ke. Demak dan minta bantuan pasukan serta persenjataap selengkapnya…..”
“Itu tepat sekali,” kata Wirja Pranata. “Tapi mengingat Demak masih jauh dari sini dan Sultan membawa keris pusaka pula maka sebaiknya Sultan jangan pergi seorang diri”
Ucapan calon mertuanya itu memang dirasa betul sekali oleh Sultan. Dan diam-diam dia teringat pada Wiro Sableng, si pemuda sakti yang telah dua kali menolongnya. Kalau pemuda itu berada bersamanya saat itu tentu dia tak usah khawatir bahaya apapun.
Sebagai orang tua yang tahu di hati anak muda dan juga pernah muda, tak lama kemudian Wirja Pranata bersama isterinya mengundurkan diri ke dalam kamar. Maka kini tinggallah kedua orang itu. Suasana lain sekali jadinya kini. Suasana itu sungguh tidak enak, tapi tidak enak yang enak! Rasa begini rupa baik oleh Anjarsari maupun oleh Sultan sendiri tak pernah dialaminya sebelumnya. Cuma sudut-sudut mata mereka saja yang sekali-sekali mencuri pandang. Ketika Anjarsari melirik untuk kesekian kalinya maka pada detik itu pula Sultan mengerling. Beradulah dua kerlingan mata itu! Anjarsari cepat-cepat menundukkan kepalanya menyembunyikan paras yang semu kemerahan!
Kesunyian masih juga berjalan terus sampai beberapa lamanya. Tiada satupun yang berani untuk membuka pembicaraan. Sultan sendiri merasa tenggorokannya seperti tersekat, lidahnya seperti kelu dan mulutnya terkancing! Namun pada akhirnya Sultan Hasanuddin membuka mulutnya juga. “Kalau tiada terjadi pengkhianatan Parit Wulung, mungkin sampai hari ini belum ada kesempatan bagi kita untuk bertemu, Sari…”
“Ya… hemm…, saya sangat terkejut meindengar berita buruk itu, kakak,” berkata Anjarsari agak gugup. Kemudian. “Apakah kakak akan segera berangkat ke Demak…?”
Sultan mengangguk.
“Memang lebih cepat lebih baik. Ramanda di Cirebon sudah mendapat tahu peristiwa di Banten…?”
“Mudah-mudahan sudah karena ada kukirimkan seorang utusan ke sana”. Kemudian untuk menghilangkan pembicaraan yang berjalan kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari keluar rumah. Di luar ternyata malam itu berpemandangan indah. Bulan purnama empat belas hari bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit yang biru cerah. Banyak dan sering sudah kedua remaja itu melihat bulan purnama pada malam-malam terang bulan sebelumnya namun bagi mereka tiada seindah malam itu.
Di samping gedung besar bangsawan Wirja Pranata terdapat sebuah taman kecil. Di dalam taman terletak satu bangku panjang. Kedua remaja ini melangkah seiring ke bangku itu. Mendadak Sultan putar kepalanya ketika sepasang telinganya yang tajam dalam kesunyian itu mendengar suara bergeresek di atas genting. Sesosok bayangan hitam kelihatan berkelebat ialu lenyap di bagian atap gedung yang lain. Meski demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih sempat melihat bahwa di tangan kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah benda yang berbentuk keris.
“Celaka!” kata Sultan dalam hati. Dia berseru dengan keras. “Berhenti!” Tapi bayangan sosok tubuh tadi sudah sejak lama lenyap. Ketika disusul kehalaman samping juga tak kelihatan lagi. Dalam kebingungannya Sultan sampai lupakan Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung, terus ke kamar dan melihat bagaimana kasur pembaringan berada dalam keadaan tak karuan. Ketika ditariknya kasur itu di bagian kepala tempat tidur, maka keris Tumbal Wilayuda yang sebelumnya disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi! Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh yang melarikan diri tadi yang telah mencurinya!
“Pencuri keparat!” maki Sultan. Dia lari lagi keluar. Ketika sampai di halaman samping terkejutlah dia. Anjarsari tak ada lagi di dalam taman! Lenyap! “Anjar!” memanggil Sultan. “Anjarsari!” serunya lagi. Tapi tiada jawaban!
Maka di malam itu hebohlah seisi gedung bangsawan Wirja Pranata. Sultan sendiri sesudah memberikan penuturan, singkat segera berkelebat meninggalkan gedung. Keris Tumbal Wilayuda lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih lagi terhadap Anjarsari yang hilang secara aneh itu. Maka dia memutuskan menyelidiki lenyapnya Anjarsari lebih dahulu lalu baru mencari jejak si pencuri keris Tumbal Wilayuda!
Sesaat sesudah kepergian Sultan, Wirja Pranata berkelabat pula ke arah yang berlawanan. Malam dingin dan angin agak kencang bertiupnya. Wirja Pranata adalah seorang bangsawan yang “mempunyai isi” juga. Dalam waktu yang singkat dengan ilmu larinya yang sempurna dia telah sampai di luar kota. Karena daerah luar kota merupakan daerah pesawangan datar di tambah bulan bersinar terang maka dengan mudah di ujung pesawangan Wirja Pranata dapat melihat dua sosok tubuh manusia tengah berlari kencang. Yang di belakang sebat sekali larinya dan dalam waktu yang singkat berhasil menyusul yang di muka. Kemudian kelihatan terjadi pertempuran! Tanpa menunggu lebih lama bangsawan Wirja Pranata segera lari ke sana.
Dia sampai ketika pertempuran tengah berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang yang bertempur adalah seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih. Gerakannya gesit sekali dan menimbulkan angin bersiuran. Lawannya adalah seorang laki-laki jangkung kurus bermuka sangat seram berpakaian hitam. Salah satu matanya sangat besar sedang yang lain hanya merupakan sebuah rongga hitam cekung yang sangat menggidikkan. Gerakannya juga tak kalah hebat dari lawannya. Pakaiannya bertambal-tambal.
“Berhenti!” seru Wirja Pranata.
Tapi yang bertempur tidak ambil perduli. Yang bermuka seram malahan lancarkan empat serangan dahsyat yang menimbulkan angin tajam dan panas!
Pemuda rambut gondrong berseru nyaring, lompatkan diri ke udara lalu menukik lagi seraya hantamkan tangan kanan ke muka. Angin laksana badai menderu menyerang si muka seram.
“Pukulan kunyuk melempar buah!,” seru si muka seram kaget. Buru-buru dia kebatkan lengan pakaian hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk di tanah karena angin pukulan lawan nyatanya lebih dahsyat. Pemuda rambut gondrong sendiri tersurut ke belakang beberapa langkah, dadanya terasa sakit.
“Manusia muka setan ini ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda. Sebaliknya si muka setan yang tahu bahwa lawannya adalah seorang yang sangat tangguh segera berseru pada Wirja Pranata. “Sobat! Kenapa diam saja?! Bukankah kedatanganmu kemari untuk mencari pencuri keris? Inilah bangsat malingnya! Ayo tunggu apa
lagi, mari kita labrak!”
Si pemuda tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan itu turun, segelombang angin menggebubu menyerang tubuh si muka setan dari atas ke bawah! Manusia ini segera kebutkan kedua ujung lengan bajunya. Pemuda gondrong sampai melesak kedua kakinya sedalam dua senti ke tanah sedang si muka setan terguling di tanah tapi cepat bangun lagi!
Diam-diam si pemuda rambut gondrong terkejut. Pukulan yang dilancarkan tadi bukan sembarang dan mempergunakan hampir sepertiga tenaga dalamnya tapi lawan ternyata tidak apa-apa malahan bisa bangkit kembali!
“Wirja Pranata!” berseru si muka setan. “Kalau kau inginkan keris kembali lekas bantu aku meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya menggembung? Keris itu disembunyikannya di sana!”
“Orang tolol!,” maki si pemuda. ”Kenapa terpengaruh omongan manusia muka setan ini?! -Dialah Yang mencuri keris Tumbal Wilayuda!”
Wirja Pranata jadi bingung. Tapi karena sudah terlanjur maka dia teruskan juga serangannya. Pernuda rambut gondrong tiada hentinya memaki. “Bangsawan Wirja Pranata, sebaiknya mundurlah! Jangan sampai tertipu maling yang berteriak pencuri ini!”
Meski terkejut karena si gondrong ketahui nmaanya namun Wirja Pranata terus juga lancarkan serangan-serangan. Si rambut gondrong menggereng. Tiba-tiba bersuit keras. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan diputar-putar. Dia menghadap tepat-tepat pada manusia muka setan. Dan manusia ini terkejut sekali “Pukulan angin puyuh!,” serunya, dengan wajah tegang. Cepat-cepat dia keruk kantong baju hitamnya, lompat empat tombak dan begitu tangannya keluar dari saku maka melesatlah lima benda bersinar hitam ke arah si pemuda.
“Paku Darah Hitam!,” seru Wirja Pranata ombil surut kebelakang. Hatinya meragu akan siapa sebenarnya manusia muka seram itu.
“Hemm… jadi kau anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam?” gertak pemuda rambut gondrong. Sekali dia hantamkan tangan kanan ke muka maka luruhlah paku-paku biru itu ke tanah! Ketika dia hendak menyerang kembali si muka setan sudah lenyap!
***
ENAM
DENGAN sangat penasaran Pendekar 212 putar tubuh. “Kalau kau tidak bertindak gegabah pasti pencuri keparat itu sudah kena diringkus!”.
Memang meski hatinya bimbang tapi Wirja Pranata sendiri juga meragu terhadap diri Wiro Sableng. “Kau siapa?!” tanyanya.
“Sudah, saat ini bukan tempatnya untuk bertanya jawab!”. Pendekar 212 segera berkelebat ke arah larinya si muka setan yang diduganya adalah seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Namun dibelakangnya terdengar suara berseru.
“Tunggu! Berhenti dulu!”
Karena tahu yang berseru adalah Wirja Pranata maka Wiro tidak ambil perduli melainkan lari terus. Namun sesaat kemudian berdesing sejumlah senjata rahasia menyerang ke arahnya. Dengan beringas Pendekar 212 putar tubuh dan kebutkan tangan. Senjata-senjata rahasia itu berpelantingan. Dan pada ketika itu pula Wirja Pranata sudah berdiri dihadapannya.
“Jika kau orang baik-baik mengapa tidak berani sebutkan nama terangkan diri?! Pastilah kau bangsanya kaki tangan gotongan hitam!”.
Wiro Sableng jadi betul-betul penasaran kini. “Manusia tidak tahu diri! Tidak tahu membedakan mana yang putih dan mana yang hitam! Tidak tahu dirinya tengah ditolong, malah mencap orang seenaknya! Kalau bukan mengingat bahwa kau calon mertuanya Sultan, aku sudah tampar kau punya mulut! Sekarang pergilah!”. Wiro gerakkan kedua tangannya. Dan tahu-tahu terdoronglah tubuh Wirja Pranata ke belakang sampai empat tombak!
Wirja Pranata rupanya menjadi kalap. Melihat pemuda rambut gondrong itu hendak angkat kaki kembali maka segera dia hunus keris dan dengan cepat kirimkan lima tusukan sekaligus! hati sambil hindarkan diri dengan cepat.
Di lain saat maka tiba-tiba muncullah satu bayangan manusia.
“Tahan!”
Kedua orang yang bertempur, yang sama-sama mengenali suara pendatang baru itu segera hentikan pertempuran.
Pendekar 212 putar kepala pada si pendatang lalu berkata. “Sultan, semangat calon mertuamu memang hebat! Nyalinya besar tapi sayang pikirannya keliwat pendek!”.
Merahlah paras Wirja Pranata tapi dia juga heran mengetahui bahwa si rambut gondrong mengenali Sultan Hasanuddin. Sultan kemudian memperkenalkan kedua orang itu. Barulah saat itu Wiro menjura hormat.
Dengan batuk-batuk Wirja Pranata bertanya pada Sultan. “Bagaimana dengan Anjarsari, apakah berhasil ditemui…?”
Sultan menundukkan paras kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan.
“Terkutuk! Terkutuk!,” maki Wirja Pranata dalam hati. Kedua tangannya terkepal membentuk tinju. Tentu saja laki-laki ini sangat mengkhawatirkan keselamatan diri anak gadisnya itu.
Dalam pada itu Pendekar 212 mengetengahi. “Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung Kulon. Kami berdua segera akan mengejar bangsat pencuri itu,”
”Aku turut bersama kalian!” kata Wirja Pranata dengan hati keras.
“Bapak,” ujar Sultan, “saya tahu bagaimana perasaan dan kecemasan hati Bapak terhadap keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih kawatir lagi. Tapi percayalah, bersama sahabat “Manusia geblek,” maki Pendekar 212 dalam ini saya pasti akan dapat mencari Anjarsari dan menemukan keris Tumbal Wilayuda serta membekuk bangsat-bangsat pencuri itu!”.
“Kalau kau berkata begitu, baiklah”. Wirja Pranata akhirnya mengalah. Maka sesudah itu Wiro Sableng dan Sultan Hasanuddinpun berlalu dengan cepat.
Ketika hari pagi kedua orang itu masih juga belum berhasil meneemui jejak pencuri yang mereka cari. Dengan perasaan lesu mereka sampai ke sebuah kota bernama Parangwilis. Seperti Asoka maka Parangwilis adalah juga sebuah kota dagang yang besar. Bau makanan yang harum menghambur keluar dari sebuah warung nasi. Kedua orang inipun masuklah ke dalam warung tersebut. Karena rambutnya yang gondrong dan potongan tubuh yang kekar dari Wiro Sableng serta tampang yang gagah dari Sultan Hasanuddin maka kedua orang ini tentu saja menarik perhatian isi warung. Tapi tanpa acuh Wiro dan Sultan terus saja menyantap makanan mereka. Mendadak suasana dalam warung nasi itu menjadi sunyi hening laksana dipekuburan!
Wiro Sableng dan Sultan segera merasakan perubahan ini. Sultan putar kepala memandang berkeliling sedang Wiro Sableng putar bola matanya memandang cepat ke beberapa jurus. Dari pintu muka warung masuk seorang berpakaian kotor compang camping dan bertambal-tambal. Dari pintu belakang dua orang lagi, kemudian dari jendela di samping kiri kanan masing-masing dua orang lainnya! Muka-muka mereka rata-rata menunjukkan kebengisan, rambut kusut masai, kumis serta janggut kasar meranggas!
Beberapa orang tamu yang sedang makan dalam warung, melihat gelagat yang tidak baik ini segera jauhkan diri ke pojok. Sultan dan Pendekar 212 karena merasa tidak ada sangkut paut apa-apa dengan kesepuluh manusia itu tanpa ambil perduli terus menyantap hidangan mereka. Tiba-tiba salah seorang yang datang dari pintu depan hantamkan tangan kananya ke muka. Angin deras melanda meja makan di hadapan Wiro serta Sutan. Meja kayu yang besar dan berat itu tak ampun lagi mental melabrak dinding warung. Piring serta gelas di atasnya berpelantingan pecah! Namun di saat itu pula baik Pendekar 212 maupun Sultan telah melompat ke samping dan berdiri saling memunggungi !
Serentak dengan itu maka sepuluh manusia yang berpakaian compang-camping sudah mengurung keduanya dengan rapat. “Berhari-hari dicari baru kini kutemui!,” kata laki-laki yang tadi melabrak meja dengan pukulannya yang hebat.
“Kalian siapa?,” tanya Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di belakang di dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya.
Orang tadi mengekeh. Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya terselip segumpal susur tembakau. “Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!,” jawab orang itu.
Terkejutlah Sultan. “Kami berdua tidak merasa punya silang sengketa dengan kalian, mengapa datang mengganggu?”
Anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mengekeh lagi. “Jangan jual bacot mengatakan tiada silang-sengketa. Salah seorang dari kalian telah membunuh pemimpin kami Pengemis Bibir Sumbing!”
“Oh, jadi kalian anak-anak buahnya manusia jahat itu? Setiap manusia jahat akan menemui ajalnya secara buruk! Kalian pergilah semua!”
Anggota Pengemis Darah Hitam semburkan susurnya ke muka Sultan. Meski cuma susur tapi bahayanya besar sekali karena mengandung tenaga dalam! Dengan cepat Sultan hantamkan tangan kanannya ke depan, maka mentallah susur itu. Sebagian dari air susur menjiprat ke muka beberapa orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam termasuk laki-laki yang telah menyemburkan susur itu tadi! Maka marahlah dia! Dan segera membentak!
“Tangkap Sultan hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!”
Sembilan pengemis yang diberi komando segera menyerbu ke muka. Tubuh Sultan dan Wiro Sableng lenyap. Hanya suara tertawa Pendekar 212 ini saja yang terdengar. Dan sesaat kemudian terdengarlah suara . “bluk . . . . bluk …. bluk … bluk . . .”
Empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat dan menggeletak di tanah tanpa nyawa! Sekali lagi Pendekar 212 berkelebat dan dua lawan lagi mental ke luar kedai! Melihat ini pengemis yang tadi berikan komando segera keluarkan senjatanya berupa sebuah cambuk yang berwarna hitam. Melihat ini maka tiga anggota lainnya yang masih hidup segera pula keluarkan cambuk masing-masing. Dan sesaat kemudian maka laksana hujan menggeletarlah cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan Sultan. Suasana tiada ubah seperti halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak hancur Iuluh tenggelam oleh suara cambuk! Dan di saat itu tak ada satu tamu lainpun yang masih. berani berada di dalam warung sedang pemilik warung sendiri sudah kabur entah ke mana!
Sultan melompat ke samping kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu terhindar segera dia kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya tahu-tahu sudah melibat kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk lepaskan diri namun sia-sia saja.
Dilain pihak Pendekar 212 coba keluarkan diri dari hantaman-hantaman cambuk dua orang lawannya yang datang laksana hujan! Tapi memang permainan cambuk empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ini hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah sana sudah kena diringkus dan di seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin sibuk dan kepepet ke bagian belakang warung.
Geram sekali Wiro Sableng lompat tiga tombak ke atas lalu menukik ke bawah seraya membagi serangan tangan kiri kanan kepada dua orang lawannya. Angin pukulan Pendekar 212 membuat kedua orang itu hanya terdorong seketika karena kebutan cambuknya yang begitu dahsyat sanggup membendung hampir sebagian besar angina pukulan Wiro !
Dengan penasaran Pendekar 212 begitu sampai ke tanah kembali segera menyambar sebuah bangku panjang. Dengan bangku panjang sebagai senjatanya maka mengamuklah Pendekar 212. Cambuk hitam anggota Pengemis Dara.h Hitam betul-betul luar biasa. Senjata keduanya mendera bangku hitam beberapa kali. Dan hancurlah bangku hitam itu! Wiro Sableng menggerung. Kedua tangannya bergetar dan dinaikkan tinggi-tinggi ke atas.
“Wut! Wutt…..!”
Warung nasi itu berderak derik! Kedua lawan coba putar dan pecutkan cambuk mereka lebih deras lagi namun angin yang menyambar dari lengan Pendekar 212 tak sanggup lagi mereka tahan. Laksana topan kedua orang itu bermentalan kian ke mari. Cambuk mereka terlepas dan tiba-tiba. “krraakkk !” Warung nasi itupun robohlah! Sesaat kemudian bangunan ini ambruk, maka Pendekar 212 sudah melabrak dinding dan lolos ke luar. Dua orang angg ota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam yang tadi sudah konyol tersambar pukulan “angin puyuh” Pendekar 212 tertimbun mentahmentah!
Di luar warung yang rubuh, Pendekar 212 bingung sendiri karena melihat Sultan bersama dua orang anggota Pengemis Darah Hitam sudah lenyap. Dia segera minta beberapa keterangan pada orang-orang di luar kemana lenyapnya ketiga orang itu.
“Kawanmu kena diringkus dan dilarikan ke jurusan sana,” kata seseorang sambal menunjuk ke ujung jalan. Maka tanpa membuang waktu Wiro Sableng segera mengejar ke arah yang ditunjukkan.
***
TUJUH
PADA masa itu di Jawa Barat telah sejak lama berdiri sebuah perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Anggotanya terdiri dari pengemis-pengemis yang tersebar di seluruh pelosok dan di setiap kota. Setiap anggota perkumpulan mempunyai sebuah pecut hitam dan rata-rara memiliki ilmu silat yang tinggi. Tentu saja karena hamper setiap tempat dan daerah anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ada maka segala sesuatu peristiwa besar dan rahasia dengan, sendirinya diketahui oleh mereka. Demikian juga dengan peristiwa jatuhnya Banten ke tangan pemberontak dan lenyapnya Sultan serta keris Tumbal Wilayuda. Yang terakhir sekali mereka juga mengetahui hubungan Sultan dengan Andjarsari. Maka pucuk Pimpinan Perkumpulan segera menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan keris Tumbal Wilayuda mencari Sultan serta menculik Andjarsari!
Demikian besarnya hasrat mereka untuk berhasil dalam rencana tersebut maka sampaisampai salah seorang dari pucuk pimpinan yang terdiri dari tiga pengemis berkepandaian tinggi, memutuskan untuk turun tangan. Pucuk pimpinan yang seorang ini ialah Pengemis Bibir Sumbing! Sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya, ketika Sultan bermalam di satu penginapan maka Pengemis Bibir Sumbing telah mendatanginya dan hampir berhasil membawa kabur keris Tumbal Wilayuda jika saja saat itu Pendekar 212 tidak muncul memberikan bantuan. Bukan saja Pengemis Bibir Sumbing tiada berhasil dengan niatnya untuk mencuri keris pusaka tumbal kerajaan tapi dia juga terpaksa serahkan jiwa! Dibanding dengan dua pucuk pimpinan lainnya yaitu Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang maka memang kepandaian Pengemis Bibir Sumbing jauh lebih rendah sehingga setelah bertempur beberapa gebrakan secara hebat maka akhirnya Pengemis Bibir Sumbing menemui ajalnya di tangan Pendekar 212.
Namun bahaya yang mengancam Sultan serta keris pusaka itu tidak sampai di sana saja. Ketika Sultan bermalam di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam telah berhasil melarikan keris tersebut selagi Sultan berada di taman dengan calon istrinya Andjarsari! Dan Andjarsari sendiri kemudian juga telah diculik pula oleh salah seorang anggota lain Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!
Adapun markas atau sarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu, terletak di dalam hutan belantara Riungslaksa. Maka ke sanalah anggota-anggota perkumpulan yang telah berhasil membawa orang yang mereka culik dan keris yang berhasil dicuri. Selama beberapa hari itu kedua pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam menanti-nanti juga akan hasil pekerjaan anggota-anggota mereka.
“Ah, lama betul sekali ini anggota-anggota kita menjalankan tugasnya…,” berkata Pengemis Mata Buta. Tubuhnya tinggi kurus macam tonggak. Pipinya cekung, rambutnya panjang tergerai macam perempuan, sedang kedua matanya hanya merupakan dua buah rongga dalam yang hitam sehingga dapat dibayangkan betapa mengerikannya wajah manusia ini!
“Ya… lama sekali,” jawab Pengemis Kaki Pincang seraya menghela nafas dalam. Di sela bibirnya terselip sebuah pipa yang bau tembakaunya busuk sekali! Manusia ini bermuka licin dan berkulit sangat pucat laksana mayat! Kaki kanannya pincang. “Bahkan Pengemis Bibir Sumbingpun tidak kelihatan mata hidungnya sampai saat ini!”
“Pengemis Bibir Sumbing macam orang yang tidak percaya saja dengan anggota-anggota kita sampai-sampai mau turun tangan sendiri…”
“Ah.., dia memang dari dulu begitu sifatnya,” kata Pengemis Kaki Pincang pula.
“Saudara Pengemis Mata Buta, apakah menurutmu…” Belum habis bicara Pengemis Kaki Pincang maka di luar terdengar seruan. “Para Ketua, lihat apa yang aku bawa!”
Dan sesaat kemudian muncullah seorang anggota Perkumpulan yang berbadan tegap kekar. Dibahunya terpanggul sesosok tubuh perempuan muda. Sosok tubuh perempuan ini bukan lain Andjarsari, dibaring.kannya di atas lantai di hadapan kaki kedua pucuk pimpinan Perkumpulan. Saat itu Andjarsari tak dapat bergerak dan juga tidak sadarkan diri karena telah ditotok. Tentu saja sangat gembira hati kedua Ketua Perkumpulan itu.
“Jasamu kepada Perkumpulan cukup besar Lah Simpong,” kata Pengemis Kaki Pincang seraja gosok-gosok kedua telapak tangannya.
Cuping hidung anggota Perkumpulan yang bernama Lah Simpong kelihatan membesar dan bergerak-gerak tanda suka cita hatinya. “Percayalah, para Ketua,” kata Lah Simpong pula. “Dengan berhasilnya gadis ini kita tawan, Sultan pasti akan datang ke sini dan kita dengan mudah bisa meringkusnya.”
“Betul sekali!” kata Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang hampir berbarengan.
Lah Simpong yang dulunya adalah seorang peminta-minta di kota Menes basahkan bibir dengan ujung lidah, “Para ketua,” katanya “Apa aku boleh terima uang jasa sekarang…?!”
“Tentu…!” jawab pengemis Kaki Pincang. Dari balik pinggang dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan ditemparkannya ke hadapan Lah Simpong. Benda itu jatuh dengan mengeluarkan suara berdering di muka kaki Lah Simpong.
Dengan. menyeringai gembira maka Lah Simpong segera membungkuk dan mengambil kantong uang itu. Dan pada saat itu pulalah di luar terdengar seruan seseorang. “Apa artinya hasil yang dibawa Lah Simpong dibandingkan dengan apa yang kami bawa ini wahai Para Ketua Perkumpulan?!”
Dua sosok tubuh mencelat masuk lewat jendela. Ketika mendarat dilantai sedikitpun kaki mereka tiada mengeluarkan suara! Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta yang meskipun buta tapi mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam luar biasa sama-sama bergembira.
“Siapa yang kalian bawa itu?” tanya Pengemis Mata Buta.
“Sultan! Sultan!” kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya. Pengemis Mata Buta tertawa girang. Dari balik sabuknya dia keluarkan dua buah kantong kulit yang besar. “Ini terima!” katanya. Dua orang anggota Pengemis Darah Hitam tadi segera menyambutinya. Mereka menjura girang lalu mau putar diri dari situ namun seseorang yang melompat masuk lewat pintu muka mengejutkan mereka!
“Aha… bawaanku memang bukan manusia bernyawa! Bawaanku juga tidak besar Cuma kecil sekal ! Tapi justru apa yang kubawa ini merupakan satu tanda bahwa siapa pemiliknya adalah mempunyai hak untuk menjadi raja di Banten!”
Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing !
“Mata Picak! Apakah kau berhasil mencuri keris Tumbal Wilayuda?!” seru Pengemis Mata Buta dengan nada gembira.
Anggota Perkumpulan yang bermata buta sebelah dan bertampang angker itu tertawa mengekeh. Nama sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin perkumpulan yang tahu. Karena itu dia dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di bandingkan dengan Pengemis Bibir Sumbing maka kepandaian Mata Picak tiga tingkat lebih tinggi, ditambah lagi bahwa dia mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu mempunyai senjata rahasia paku beracun! Kepandaiannya ini juga diturunkannya kepada anggota perkumpulan termasuk para pucuk pimpinan sehingga lambat laun senjata rahasia itupun disebut “paku darah hitam,” sesuai dengan nama perkumpulan mereka. Dengan ketinggian ilmu silat ditambah dengan kelihayannya memainkan senjata rahasia “paku darah hitam” maka sebenarnya Mata Picak adalah lebih tepat untuk menjadi pimpinan perkumpulan daripada Pengemis Bibir Sumbing. Namun Pengemis Bibir Sumbing sudah belasan tahun memasuki Perkumpulan bahkan dialah yang mula-mula mempunyai prakarsa untuk mendirikan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu!
“Kita pesta tuak malam ini!” seru Pengentis Mata Buta.
“Pesta tuak dan anggur!,” menimpali Pengemis Kaki Pincang.
Kedua pimpinan Perkumpulan itu sama-sama mengeluarkan sebuah kantung uang dan melemparkannya ke hadapan Mata Picak. Memang inilah yang ditunggu-tunggu oleh si Mata Picak. Dengan segera kedua kantung uang itu disambutinya. Dia menjura. Belum lagi sempat dia berdiri tegak dari menjuranya itu maka dari pintu muka masuklah seorang anggota Perkumpulan. Mukanya tak kalah bengis angker, namun di saat itu tampang itu kelihatan sedikit pucat, lesu dan kuyu!
Pengemis Kaki Pincang kerutkan kening melihat anggotanya ini. Tak biasanya Kuntawana berparas semurung itu. Maka bertanyalah dia. “Kabar apakah yang agaknya kau bawa dari luar rimba, Kutawana?!”
“Hemm… Kutawana juga sudah kembali?” ujar Pengemis Mata Buta.
Anggota yang baru datang itu menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia . “Aku membawa kabar buruk, para Ketua…”
“Kabar buruk bagaimana?” tanya Pengemis Kaki Pincang sementara yang lain-lainnya juga tujukan perhatian terhadap Kuntawarna.
“Kemarin aku memasuki kota Asoka. Kota itu tengah berada dalam kegemparan karena menemukan sesosok mayat di belakang bengkel kuda Ketika aku menyeruak diantara orang banyak ternyata mayat itu adalah mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing!”
Terkejutlah semua orang.
“Ada keanehan dalam cara matinya…”.
“Keanehan bagaimana maksudmu?!” tanya Pengemis Mata Buta.
Kulit keningnya hitam, dadanya biru. Sedang pada kulit kening yang hitam itu tertera tiga buah angka. Angka 212!”
Terjadilah perubahan pada air muka pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang memandang pada pengemis Mata Buta. Pengemis Mata Buta sendiri di saat itu merenung. “Bagaimana pendapatmu, Ketua Pengemis Mata Buta?” bertanya Pengemis Kaki Pincang.
Sejurus lamanya barulah menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara berubah sekali kali ini. “Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu rimbanya, ternyata dia muncul kembali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi tokoh-tokoh silat golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah dia muncul untuk kembali menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun yang lalu itu…”
“Maksudmu Pendekar 212 Kapak Maut Naga Geni si Sinto Gendeng itu…?!” tanya Pengemis Kaki Pincang.
“Siapa lagi!”
“Ah… kalau dia memang muncul untuk maksud yang seperti masa lampau, dia salah perhitungah! Dunia persilatan dulu tidak sama dengan dunia persitatan masa sekarang! Golongan hitam banyak maju pesat, banyak mempunyai tokoh-tokoh kosen serta lihay dan sakti! Sinto Gendeng boleh datang kemari. Dan itu berarti dia antarkan nyawa sendiri!”
Pengemis Mata Buta menarik nafas dalam, “Kita tak bisa menganggap enteng momok perempuan itu, Ketua Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata Buta pula. “Ketahuilah, kedua mataku yang buta ini, dialah yang telah mengoreknya dulu…”.
Kagetlah Pengemis Kaki Pincang. Matanya mendelik dan dipandanginya paras rekannya itu. Akhirnya dia memandang ke jurusan lain karena merinding juga kuduknya memandang lama-lama pada rongga rongga mata yang menggidikkan itu!
Suasana hening seketika. Dan keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata Buta. “Kuntawana, apa yang kau telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing…?!”
Terkejutlah Kuntawana.
“Jawab! Apa sesudah kau temui lantas kau tinggal begitu saja….?!”
“Ketua… di saat itu mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing dikerumuni oleh banyak orang. Di antaranya beberapa prajurit kerajaan. Tak mungkin bagiku…”
“Tutup mulut! Kesalahanmu besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!”
Muka Kuntawana menjadi pucat. “Ketua…”
“Diam! Lekas angkat kaki dari sini!”
“Para Ketua…”.
“Diam! Berlalulah sebelum amarahku lebih memuncak!” bentak Pengemis Mata Buta.
Kuntawana menyuruh mundur. “Aku bersedia kembali ke Asoka untuk mengambil mayat Ketua Bibir Sumbing…”
“Tak perlu,” jawab Pengemis Mata Buta tetap keras. “Aku bisa suruh anggota yang lain!”.
Maka membesilah paras Kuntawana. “Baik, aku akan pergi tapi serahkan dulu uang jasaku”. “Kurang ajar! Kau berani bicara seenaknya demikian rupa?! Ini bagianmu!”.
Pengemis Mata Buta kebutkan lengan jubah hitamnya. Satu gelombang angin dahsyat melanda ke arah Kuntawana. Terkejutlah Kuntawana. Dia tahu betul pukulan yang dilancarkan oleh si Mata Buta itu. Pukulan “seribu topan!”! Dengan cepat Kuntawana melompat ke atas namun dia tak bisa melompat tinggi karena bangunan di mana mereka berada mempunyai loteng yang rendah!
“Celaka, mampuslah aku!” kata Kuntawana di dalam hati. Namun pada detik yang berbahaya itu dari jendela samping satu larikan sinar merah menyambar memapaki angin pukulan seribu topan dan kejapan itu juga buyarlah pukulan
Pengemis Mata Buta dan selamatlah Kuntawana!
Pengemis Mata Buta seorang yang mempunyai perasaan luar biasa. Sepasang telinganya bukan saja tajam tapi juga merupakan sebagai sepasang mata baginya. Dia menoleh ke jendela. “Keparat yang suka ikut campur urusan orang, coba perlihatkan diri!” bentaknya.
Di diluar terdengar suara tertawa bergelak. Sesaat kemudian sesosok tubuh berjubah merah dan berkerundung kain merah dengan gerakan yang sangat sebat dan enteng sudah menjejakkan kaki di lantai ruangan!
“Iblis Pencabut Sukma!” teriak Pengemis Kaki Pincang berbarengan dengan anggotaanggota Perkumpulan lainnya! Wajah mereka mengkerut tegang!
***
DELAPAN
ORANG berkerundung merah keluarkan suara tertawa mengekeh kembali. Pengemis Mata Buta rangkapkan kedua tangannya di muka dada. “Kiranya lblis Pencabut Sukma! Pantas keras dan hebat angin pukulannya! Tapi gerangan apakah yang membuat kau datang ke sini serta mencampuri urusan Perkumpulan kami?!”
Laki-laki berkerundung yang merupakan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma lagi-lagi tertawa mengekeh. “Ketua-ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam, kuharap tanpa banyak bicara segeralah serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan Hasanuddin dan gadis itu kepadaku….!”.
“Eh… ini suatu hal yang tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu heh…?”
“Hidung kerbau!,” maki Iblis Pencabut Sukma. “Aku bilang jangan banyak bicara! Serahkan cepat! Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!”
“Ah…. Kalau tak salah kita ini masih sama-sama satu golongan. Kenapa harus bikin persoalan begini rupa? Semua manusia berhak memang memiliki keris dan kedua manusia yang kau katakan itu! Dan pihakku telah perhasil menguasainya, kau terlambat. Itu adalah salahmu sen…..”
“Katakan saja kau tak mau menyerahkan apa yang aku minta!,” memotong lblis Pencabut Sukma.
“Untuk mendapatkan semua itu pihakku sampai korbankan salah seorang ketuanya! Sekarang kau seenaknya meminta! Aturan macam mana yang kau pakai?!” kata Pengemis Kaki Pincang.
“Kaki Pincang kau menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!”
Pengemis Kaki Pincang tertawa tawar. “Orang lain mungkin takut pada kau! Tapi aku Pengemis Kaki Pincang boleh dicoba nyalinya!”. lblis Pencabut Sukma tertawa gelak-gelak. Kedua kakinya merenggang. “Dalam satu jurus kau akan konyol ke akherat Pengemis Kaki Pincang!”
“Coba saja, aku mau lihat!” kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina. Sementara itu telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan dengan ilmu menyusupkan suara. “Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia ini berbahaya….”.
Ketika Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanan ke atas, dan ketika Pengemis Kaki Pincang pusatkan tenaga dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba Kuntawana melompat antara tengah-tengah kedua Orang itu.
“Manusia sontoloyo! Kau juga minta dikirim keakhirat?!” bentak Iblis Pencabut Sukma. Kuntawana menghadap pada Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. “Para Ketua, harap perkenankan aku melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus kesalahanku!”.
“Hem…”. Pengemis Mata Buta merenung. “Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!” Maka Pengemis Kaki Pincangpun mundurlah sedang Kuntawana segera cabut cambuk hitamnya. Iblis Pencabut Sukma menyeringai. “Manusia tampangmu cukup tiga langkah saja kulayani!”. katanya.
Kuntawana putar cambuknya dengan sebat.
Iblis Pencabut Sukma maju satu langkah.
Kuntawana tiba-tiba lepaskan pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan cambuknya bergelegaran ke arah lawan.
Iblis Pencabut Sukma majukan langkah kedua. Jari-jari tangan kanannya terbentang ke muka seperti hendak mencaakar sedang tangan kiri mengebut menahan serangan lawan. Pada detik dia buat langkah ketiga maka tangan kanannya ditarik ke belakang dengan keras! Inilah yang disebut ilmu pukulan pencabut sukma!
Kuntawana merasakan badannya seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot! “Huah!” Sesaat kemudian anggota Pengemis Darah Hitam inipun muntah darahlah! Tubuhnya terkapar di lantai tanpa nyawa!
Berdeburlah darah para anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota Perkumpulan yang ilmu kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma membunuhnya hanya dalam tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan tertawa bekakakan menegakkan bulu roma!.
“Siapa yang tidak senang melihat mampusnya kroco itu boleh maju segera!,” katanya. Kemudian dia berpaling pada dua orang pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Sepasang matanya kelihatan menyorot berkilat. “Kalian berdua masih belum mau serahkan apaapa yang aku minta?!”.
Sebelum kedua Ketua Pengemis Darah Hitam berikan jawaban sesosok tubuh dengan gerakan enteng melompat, ke hadapan dua Ketua Pengemis Darah Hitam.
“Para Ketua, perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar ini!”
Pengemis Mata Buta tidak memberikan sahutan. Dia tahu kepandaian Lah Simpong memang lebih tinggi dari Kuntawana, tapi untuk menghadap lblis Pencabut Sukma, tingkat kepandaian Lah Simpong masih belum dapat diharapkan. Sebaliknya Pengemis Kaki Pincang setelah merenung sejurus, lalu anggukkan kepala dan berkata, “Baiklah, tapi hati-hati. Manusia ini benar-benar ganas seperti iblis!”
Setelah diperkenankan begitu rupa maka Lah Simpong segera putar badan. Cambuk di tangan kiri, sebuah toya besi di tangan kanan maka diapun maju ke arah Iblis Pencabut Sukma. Iblis Pencabut Sukma menyeringai di balik kerundung kain merahnya. “Rupanya Para Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka korbankan anggotanya dari pada maju sendiri!”
“Jangan banyak mulut manusia iblis! Lihat cambuk!” Cambuk hitam di tangan kiri Lah Simpong berkelebat. Suaranya menggelegar macam petir. Ujung cambuk dengan sangat cepat, sukar dilihat oleh mata biasa, mendera ke muka si kerudung merah! Sebelum serangan ini sampai, Lah Simpong susul dengan serangan toya besi hitam. Kedua ujung toya menderu berubah seperti ratusan banyaknya dan menyerang keselusin bagian tubuh Iblis Pencabut Sukma!
Yang diserang terkekeh-kekeh. “Keluarkan seuruh kepandaianmu, Lah Simpong! Kalau tidak setengah jurus di muka kau akan jadi mayat!”.
“Tubuhmu yang akan terkapar lebih dulu, iblisl”. Ujung cambuk menyambar dengan dahsyat ke muka Iblis Pencabut Sukma sementara toya besi sedetik lagi pasti akan menghancur luluhkan tulang-tulang anggota Iblis Pencabut Sukma!
Tapi pada kejapan mata itu Iblis Pencabut Sukma kebutkan lengan jubah merahnya. Selarik angin pukulan yang hebat menyusup di antara deraan cambuk dan terus melabrak Lah Simpong. Tubuh anggota Pengemis Darah Hitam ini jatuh duduk di lantai. Mukanya pucat laksana mayat. Dia berusaha bangun. Tubuhnya tertatih-tatih tanda dia terluka parah di dalam!
“Sekarang pasrahkan ajalmu, Lah Simpong!”. Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanannya lalu ditarik ke belakang dengan cepat! Tubuh Lah Simpong seperti ditarik besi berani, tersedot sampai dua tombak ke muka, lalu jatuh menelungkup. Darah membuih dimulutnya. Ajalnya sampai!
Putihlah wajah dua Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Para anggota yang lain berdiri laksana kaku. Mereka merasa seperti nyawa mereka sendiri yang lepas waktu menyaksikan kernatian Lah Simpong itu!
“Keganasanmu sudah keliwatan sekali, Iblis Pencabut Sukma!,” kata Pengemis Kaki Pincang. “Jangan harap kau bakal bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat!”. Pengemis Kaki Pincang maju dua langkah. “Mulailah, Iblis,” tantangnya.
Iblis Pencabut Sukma tertawa dingin.
Pengemis Kaki Pincang mendengus. “Kau tidak punya nyali untuk memulai?! Kalau begitu sambut pukulanku ini!”.
Pengemis Kaki Pincang angkat tangan kanan. Namun dua anggota Perkumpulan melompat ke tengah kalangan. Mereka adalah dua kakak beradik Sepasang Cakar Garuda yang dulunya merupakan fakir-fakir miskin di kaki gunung Salak, tapi yang kemudiannya berhasil diseret oleh Pengemis Kaki Pincang untuk masuk ke dalam Perkumpulan Pengernis Darah Hitam.
“Para Ketua, kalau untuk membereskan manusia ini, serahkan pada kami!,” kata Sepasang Cakar Garuda yang tertua. Meskipun darahnya sudah mendidih namun Pengemis Kaki Pincang yang percaya akan kemampuan kedua anggotanya itu segera bersurut mundur! “Bereskanlah cepat!,” katanya.
“Ah lagi-lagi bangsa-bangsa kroco yang disuruh maju!” menghina Iblis Pencabut Sukma. “Kroco atau apa, tapi ketahuilah nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!” 1blis Pencabut Sukma mendengus. “Sombongnya!,” katanya. Dan disaat itu cambuk-cambuk lawan sudah menderu laksana topan, menyerang ke arah leher dan kaki, lalu bergantian secara teratur dan cepat membabat ke dada dan ke perut! Dalam seketika saja maka Iblis Pencabut Sukma sudah terbungkus serangan cambuk yang bergelegaran itu. Jubah Merah dan kerudungnya berkibar-kibar karena kerasnya sambaran cambuk hitam kedua lawan!
“Hemm… permainan cambuk kalian boleh juga! Tapi aku mau lihat apa bisa menerima pukulan menendang langit menjungkir awan ini?!”. Habis berkata demikian Iblis Pencabut Sukma tendangkan kaki kiri ke muka dan hantamkan telapak tangan karian dari bawah ke atas!
Disaat itu pula maka menggelindinglah kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu. Tapi begitu terhampar begitu keduanya bangun lagi meskipun dengan keluarkan keringat dingin dan sama menyadari bahwa diri mereka di bagian dalam terluka parah! Keduanya sama-sama menggerung. Cambuk hitam mendera ganas. Sedang tangan kiri
yang membentuk cakar burung garuda dengan kecepatan yang luar biasa menyambar ke muka dan ke dada Iblis Pencabut Sukma!
“Oh jadi kalian adalah Sepasang Cakar Garuda huh?!” ujar Iblis Pencabut Sukma yang kenali permainan silat kedua lawannya.
Sebaliknya dua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu rupanya tidak mau kasih hati lagi. Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu mereka susuli dengan empat buah tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma bersuit keras! Serasa mau pecah gendang-gendang telinga mendengarnya! Begitu suitannya lenyap maka dari tangan kirinya menyambarlah sinar merah yang menyeruak laksana kipas menyerang Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mencelat ke loteng, satu amblas dan menyangsrang di papan loteng sedang yang satu lagi jatuh bergedebukan ke lantai. Tubuh keduanya merah matang laksana daging panggang!
Pengemis Kaki Pincang tahan nafas. “Pukulan kipas merah,” membatin ketua Pengemis Darah Hitam ini sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun perasaannya yang tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga mengetahui ilmu pukulan apa yang telah dilepaskan lawan!
Ruangan itu sehening di kuburan.
Sekali lagi Iblis Pencabut Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan. Dari arah pintu melangkah enteng seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Tubuhnya tinggi kekar. Tampangnya seram. Kumis dan janggutnya tajam meranggas sedang salah satu matanya picak.
“Para Ketua, izinkan aku si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!”. Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta sama-sama manggutkan kepala. Mata Picak adalah anggota yang paling tinggi ilmunya dan mempunyai kelihayan dalam memainkan senjata rahasia “paku darah hitam”. Karena itu Ketua-ketua Perkumpulan pengemis Darah Hitam sama mempercayakan bahwa anggota mereka yang berilmu tinggi ini sanggup mengalahkan lawan yang tangguh itu.
Mata Picak putar tubuh menghadapi Iblis Pencabut Sukma. “Iblis Pencabut Sukma,” dia berkata, “aku Pengemis Mata Picak mohon diberi beberapa jurus Relajaran dari kau!”
“Aha… Mata Picak, kau punya peradatan sedikit. Bagus aku ampunkan jiwamu! Tapi lekas korek kau punya biji mata lalu tinggalkan, tempat ini!”
Gigi-gigi dan geraham Pengemis Mata Picak bergemeletakan. “Kepongahanmu setinggi langit Iblis Pencabut Sukma. Tapi apa kau kira kau punya nyawa rangkap!”.
lblis Pencabut Sukma tertawa bergelak. “Dikasih keampunan malah menantang!”
“Sudahlah! Tiada guna bicara panjang lebar padamu! Mulailah!”.
***
SEMBILAN
“KARENA kau yang minta dikirim keakhirat, maka kau mulailah lebih dulu, Mata Picak!” kata Iblis Pencabut Sukma dengan jumawa. Mendengar ini Pengemis Mata Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang, tubuhnya melesat ke muka. Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!
Diam-diam Iblis Pencabut Sukma terkejut juga melihat kehebatan lawan yang satu ini. Dia membentak garang dan berkelebat cepat. Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya mengeluarkan angin deras yang membendung keseluruhan serangan lawan. Penuh penasaran
Pengemis Mata Picak keruk saku bajunya yang bertambal-tambal. “Lihat paku!” serunya. Dua belas buah paku hitam yang beracun melesat menyerang dua belas bagian tubuh Iblis Pencabut Nyawa. Manusia berkerudung ini menggerung dan kebutkan kedua tangannya. Maka terdengarlah jeritan Pengemis Mata Picak. Enam dari paku darah hitamnya yang beracun berbalik dan menembus tubuhnya sedang enam lainnya mental ke loteng!
Terbeliaklah mata Pengemis Kaki Pincang dan anggota-anggota Perkumpulan lainnya yang masih hidup sedang Pengemis Mata Buta yang tidak punya mata kelihatan wajahnya mengkerut tegang.
“Iblis Pencabut Sukma,” buka suara Pengemis Mata Buta. “Kita sama-sama satu golongan hitam. Antara pihakku dan pihakmu tiada permusuhan. Mengapa turun tangan sampai seganas ini….?!”
“Ah, aku bosan mendengar bicaramu yang itu ke itu juga! Walau bagaimanapun aku tidak sudi disama ratakan satu golongan dengan kau! Aku beri waktu lima kejapan mata bagimu dan rekanmu si pincang untuk merenung dan memenuhi permintaanku…”
Lima kejapan matapun lewat dalam suasana hening tegang.
“Kalian manusia-manusia keras kepala dan dogol geblek!” bentak Iblis Pencabut Sukma, “Lihat ini!” Sepasang tangannya terpentang ke muka dan dua larik sinar merah yang menyeruak seperti kipas menggebubu ke arah tiga belas orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta terkejut. Buru-buru keduanya hantamkan tangan untuk memapasi namun luput! Di seberang sana tiga belas anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat ke dinding dan jatuh bertumpukan tanpa nyawa. Tubuh mereka matang merah laksana dipanggang!
Maka murkalah kedua pucuk pimpinan perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Keduanya maju berbarengan.
“He… he, dua tokoh silat yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama kosong belaka, menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara lantang.
Pengemis Mata Buta, meskipun tokoh silat jahat golongan hitam, tapi mendengar ini segera bersurut mundur dan berkata . “Saudara Pengemis Kaki Pincang, bereskan biang malapetaka ini!”.
“Tak usah khawatir, Saudara Mata Buta,” menyahut Pengemis Kaki Pincang. “Tapi aku tidak begitu senang maenghadapi manusia yang sembunyikan muka dibalik kerudung!”. Habis berkata begini, dengan keluarkan jurus “garuda sakti,” maka berkelebatlah Pengemis Kaki Pincang. Demikian cepat gerakannya sehingga tak terduga sama sekali oleh Iblis Pencabut Sukma.
“Sreet” !
Maka robek dan tanggallah kerudung merah Iblis Pencabut Sukma! Dan terkejutlah Pengemis Kaki Pincang. Muka Iblis Pencabut Sukma nyatanya benar-benar menyeramkan seperti iblis. Keseluruhan mukanya hancur oleh bopeng-bopeng yang besar-besar (bopeng = burik). Kedua matanya sangat besar dan menjorok ke muka serta jereng (juling). Hidungnya hampir sebesar telapak tangan dan pesek lebar menutupi pipinya yang cekung. Bibirnya sangat tebal dan tak bisa dikatupkan sehingga kelihatanlah gigi-giginya yang besar-besar dan busuk!
Kejut Pengemis Kaki Pincang hanya seketika. Menyusul terdengar suara tertawanya membahak. “Aha… kiranya Iblis Pencabut Sukma bermuka terlalu buruk, lebih buruk dari iblis sungguhan! Pantas sembunyikan muka dibalik kerudung!”.
Iblis Pencabut Sukma mendongak ke atas. Hidungnya keluarkan suara mendengus. “Jangan harap kau bisa selamat dalam tiga jurus, setan alas!,” bentaknya. Dan disaat itu Pengemis Kaki Pincang sudah melayang sebat ke mukanya. Dua tangan terpentang kemudian membuat enam serangan beruntun yang disusul oleh empat tendangan dahsyat!
Iblis Pencabut Sukma mengaum macam harimau lapar. Sekali dia berkelebat maka lenyaplah tubuhnya dan pada sekejapan mata kemudian sinar merah berbentuk kipas menggelombang menyerang Pengemis Kaki Pincang. “Saudara Kaki Pincang! Hati-hatilah….!”. memperingatkan Pengemis Mata Buta.
“Ah, cuma pukulan picisan begini siapa yang takut!” sahut Pengemis Kaki Pincang seraya lompat tiga tombak ke atas. Serangan lawan berhasil dielakkan oleh Pengemis Kaki Pincang. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri pula ke udara seraya lancarkan jurus “menendang langit menjungkir awan”. Karena jurus ini mempergunakan lebih dari setengah bagian tenaga dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki Pincang mencelat ke atas panglari (loteng). Loteng bobol! Beringas sekali, sesudah berhasil lepaskan diri dari jepitan papan-papan loteng, Pengemis Kaki Pincang cabut pipa besarnya dari balik pakaian yang bertambal-tambal! Sekali menyedot, sekali menghembus maka melesatlah asap pipa yang pekat kelabu dan mengandung racun ganas!
“Ilmu rongsokan macam ini tak perlu dipertontonkan padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis Pencabut Sukma. Tangan kanannya diangkat ke atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan pencabut sukma! Pengemis Kaki Pincang dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Tapi apa daya. Dia tak bisa selamatkan diri. Isi perutnya serasa dibetot, nafasnya serasa disedot dan “puah…!”.
Pengemis Kaki Pincang muntah darah. Laksana daun kering tubuhnya yang tak bernyawa itu melayang ke bawah dan terhampar di lantai! Perkataan Iblis Pencabut Sukma yang menyatakan bahwa dia akan membunuh lawan dalam tiga jurus, kini terbukti!
Dengan tengadahkan mukanya yang seram itu Iblis Pencabut Sukma tertawa panjang laksana serigala lapar di malam buta!
Mengkerutlah wajah Pengemis Mata Buta. Urat-urat lehernya menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak sedang rahang-rahangnya bertonjolan.
“Pengemis Mata Buta, hanya kau yang tinggal kini! Apa masih berkeras kepala untuk tidak mau serahkan apa yang kuminta…?!”.
Pengemis Mata Buta rangkapkan tangan di muka dada. Kehebatan Iblis Pencabut Sukma memang luar biasa. Setelah merenung sejenak maka buka suaralah dia. “Iblis Pencabut Sukma, sekalipun kau punya tiga kepala enam tangan, jangan harap aku tidak bernyali untuk melawanmu. Juga jangan harap aku akan kabulkan permintaan gilamu!”
“Akh… kalau begitu kasihan sekali! Perkumpulan Pengemis Darah Hitam rupanya sudah ditakdirkan para iblis musti musnah hari ini!”.
“Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tidak musnah! Sebaiknya bersiaplah untuk menghadap setan neraka, manusia iblis! Manusia iblis macammu memang tempatnya pantas di neraka!”. Habis berkata demikian maka Pengemis Mata Buta masukkan tangan kanan ke balik jubah bertambal-tambalnya. Begitu tangan keluar maka bergemerlaplah sinar hitam sebilah pedang.
Tergetar juga Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini.
“Jika kau punya senjata bagusnya lekas dikeluarkan, Iblis!” berkata Pengemis Mata Buta.
“Untuk menghadapi manusia buta macam kau, perlu apa pakai senjata segala?! Majulah, tanganku sudah gatal-gatal untuk mencabut nyawamu!”.
“Jangan mimpi Iblis!” bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka berkiblatlah taburan sinar hitam dari sambaran pedangnya!
Dan… “Plak”
Tubuh Iblis Pencabut Sukma terdorong beberapa langkah kebelakang!
Terkejutlah Pengemis Mata Buta ketika mengetahui bahwa lawannya tidak mendapat satu celaka apapun akibat ilmu pukulan “telapak tangan minta sedekah” yang sangat diandalkannya itu, padahal dalam ilmu pukulan ini dia sudah melatih diri sampai sepuluh tahun! Rasa terkejut dan kecewa melihat pukulannya hampa belaka membuat dalam kejapan itu Pengemis Mata Buta menjadi sedikit lengah. Dan kesempatan ini tiada disia-siakan oleh lawan. Iblis Pencabut Sukma kirimkan satu tendangan ke perut lawan. Tak ampun lagi Pengemis Mata Buta jatuh duduk terkapar di lantai. Belum lagi dia sempat bangun maka lawan sudah gerakkan tangan lancarkan pukulan “pencabut sukma”!
Pengemis Mata Buta merasakan adanya kekuatan dahsyat yang menyedot tubuhnya, segera dia buang diri ke samping. Tapi kasip. Perutnya terbetot menggelegak. Darah segar menyembur dari mulut. Tubuhnya kelojotan seketika. Sebelum meregang nyawa, manusia ini masih bisa keruk saku jubahnya dan lemparkan selusin paku darah hitam ke arah lawan. Ini tiada artinya bagi Iblis Pencabut Sukma. Dengan satu kebutan lengan baju maka mentallah paku-paku beracun itu! Selama beberapa ketika terdengarlah suara tertawa Iblis Pencabut Sukma. Tertawa yang
membuat kedua matanya yang juling menjadi basah oleh air mata. Manusia bermuka seram bopeng ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata Buta. Tangannya menggeledah di balik jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal Wilayuda. Bila bertemu segera diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia melangkah ke hadapan sosok tubuh Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri karena telah ditotok jalan darahnya sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong.
Iblis Pencabut Sukma memandang dengan mata berkilat-kilat ke tubuh Anjarsari yang pakaiannya berada dalam keadaan tak menentu. Dia menyeringai penuh arti. Dibelainya pipi gadis itu. Betapa lembut dan halusnya. Dirabanya dadanya. Menggeletar tubuh Iblis Pencabut Sukma. Kalau tidak ingat bahwa dia musti lekas-lekas meninggalkan tempat itu maulah dia mengikuti segala lampiasan nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di bahu kiri kemudian dia
melangkah ke hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan juga dalam keadaan tak berdaya karena ditotok.
Sewaktu Iblis Pencabut Jiwa membungkuk pula untuk mengempit tubuh Sultan, tibatiba berkelebatlah sesosok bayangan biru dan tahu-tahu tubuh Sultan disambar lalu dibawa lari! Kejut Iblis Pencabut Sukma tentu saja tiada terlukiskan.
“Kurang ajar! Hai, berhenti!” teriaknya memerintah.
Tapi bayangan biru itu terus kabur tancap gas. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lemparkan tiga puluh jarum merah ke arah simanusia berjubah biru. Yang diserang, tanpa menoleh lambaikan tangan kirinya. Ketiga puluh jarum merah itupun mental laksana disapu topan!
Iblis Pencabut Sukma angkat kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap. “Setan alas,” memaki dia. “pasti perempuan laknat itu lagi!”.
***
SEPULUH
LARINYA manusia berjubah biru itu sangat cepat sekali laksana angin. Sampai di satu puncak bukit, dia berhenti dan lepaskan totokan di tubuh Sultan. Begitu siuman Sultan tentu saja sangat terkejut mendapatkan dirinya dikempit oleh seseorang. Ketika dia coba meneliti paras orang itu ternyata dia mengenakan kerudung biru. Bau tubuhnya harum semerbak, seharum bunga melati yang tengah mekar diambang senja! Sultan merenung sejurus. Otaknya berputar mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya sebelumnya. Kemudian dicobanya melepaskan diri dari kempitan manusia jubah biru itu untuk turun ke tanah. Tapi bagaimanapun kerasnya dia gerakkan badan, tetap saja dia tiada sanggup lepaskan diri.
“Saudara, kau siapakah?,” bertanya Sultan.
Orang itu tiada menyahut melainkan menjelajahi seantero kaki bukit dengan sepasang matanya yang bening.
“Saudara, kau tentu orang yang telah menolong aku. Tapi siapakah engkau adanya? Mohon agar diriku diturunkan,” berkata Sultan Hasanuddin.
Orang itu tetap tak menyahut. Kemudian dia berkelebat lagi dan tubuhnya lari lagi laksana angin ke arah sebelah timur.
“Saudara, jika kau tak terangkan siapa kau, tidak menjadi apa. Tapi aku mohon agar diturunkan,” berkata Sultan setelah dirinya diajak lari kira-kira setengah jam lamanya.
Si jubah biru lari terus.
Dengan rasa penasaran Sultan berkata. “Jika kau tidak mau turunkan aku, terpaksa aku berlaku kasar terhadapmu!.”
Namun si jubah biru berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu. Maka Sultanpun gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah biru itu. Tapi anehnya berkali-kali dia lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang berhasil mengenai sasarannya. “Pasti ini manusia sakti luar bisa!” membathin Sultan Hasanuddin. “Saudara, aku ini mau dibawa ke mana?” bertanya pula Sultan.
Agaknya manusia berkerudung kain habis kesabarannya karena ditanya terus menerus. “Kau terlalu cerewet, lihat sajalah!”.
“Heh…?!” Sultan menjadi kaget. Betapa tidak karena orang yang membawa larinya itu ternyata adalah seorang perempuan! Meski suaranya agak membentak namun kemerduannya tiada sirna. “Pantas badannya berbau harum..,” kata Sultan dalam hati. Dan bila dia menyadari bahwa dirinya di kempit dan dibawa lari demikian rupa tentu saja Sultan menjadi malu dan tidak enak. Dia meronta-ronta lagi. Tapi tetap tak berhasil.
Mereka kemudian memasuki sebuah rimba belantara. Di tengah rimba belantara ini terdapat sebuah goa dan ke dalam goa itulah si kerudung biru membawa Sultan. Ternyata di dalam goa tiada beda terangnya dengan udara di luar. Gua ini panjang dan mempunyai beberapa lorong yang bercabang-cabang, dan makin ke dalam makin menurun. Akhirnya mereka berhenti di satu ruang yang berbentuk kamar empat persegi. Disinilah baru si jubah biru melepaskan dan menurunkan Sultan. Sultan berdiri dan memandang berkeliling.
Di salah satu dinding Sultan membaca sebuah tulisan yang berbunyi GOA DEWI KERUDUNG BIRU, Sultan jadi kaget dan memandang lekat-lekat ke paras si kerudung biru yang hanya sepasang matanya yang bening dan berkilat saja yang kelihatan. “Jadi saat ini aku berhadapan dengan Dewi Kerudung Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi
hatinya agak meragu Di dalam ruangan itu terdapat dua buah batu hitam. Dewi Kerudung Biru pergi duduk ke
salah satu batu lalu berpaling pada Sultan.
“Silahkan duduk Sultan,” katanya mempersilahkan.
“Terima kasih,” Sultan duduk. “Saudari, kau belum menjawab apakah kau yang selama ini dikenal di dunia persilatan dengan nama julukan Dewi Kerudung Biru…?”.
Yang ditanya tertawa merdu berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin. “Itu tak perlu yang kau tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding itu, bukan?”. Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip memandangi paras Sultan,
“Ah kalau begitu sungguh tak terduga pertemuan ini. Terima kasih atas pertolonganmu Dewi Kerudung Biru…,” kemudian sambungnya. “karena kau telah membawa aku ke sini, tentulah kau mempunyai maksud tertentu….”.
“Betul” membenarkan Dewi Kerudung Biru. “Aku tahu banyak apa yang telah terjadi dengan dirimu…,”
“Terima kasih kalau Dewi telah mau ambil perhatian terhadap diriku. Mohon petunjuk selanjutnya…..”
“Kau harus cepat pergi ke Demak dan menemui Sultan Trenggono untuk meminta bantuan. Kembalilah ke Banten dengan membawa sejumlah pasukan …….”.
“Memang itu sudah menjadi rencanaku Dewi,” kata Sultan pula.
“Ya, tapi pasukan saja tidak cukup. Parit Wulung mempunyai benggolan-benggolan silat golongan hitam yang sakti….”.
“Mohon petunjuk dari Dewi…”.
“Sebelum pergi kau harus tinggal selama satu hari di sini untuk kuturunkan beberapa ilmu silat….”. Sultan gembira sekali. “Tapi,” katanya. “waktu yang sesingkat itu apakah bisa berhasil baik?!”.
“Yang penting dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir pelaksanaannya…”
Sultan mengangguk. “Aku haturkan rasa hormat terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau adalah guruku,” kata Sultan pula.
Dewi Kerudung Biru geleng-gelengkan kepala. “Diriku tak perlu dihormati. Dan kuharap kau jangan salah sangka. Kalau aku wariskan beberapa ilmu kepandaian padamu bukan berarti aku telah menjadi guru dan kau telah menjadi murid….”.
“Jadi…..?” tanya Sultan heran.
“Semuanya adalah semata-mata untuk menolongmu, Sultan”.
“Terima kasih. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini. Demikian juga dengan rakyat Banten kelak. Cuma, untuk mengenang wajah penolongku, untuk mengukirnya dalam ingatanku, bolehkah aku melihat paras aslimu, Dewi Kerudung Biru…?”.
Dewi Kerudung Biru tertawa lagi seperti mutiara jatuh berderai ke lantai. Merdu sekali suara itu membuat Sultan semakin tambah ingin untuk melihat wajah yang ada dibalik kerudung itu.
Namun suara tertawa yang merdu itu segera lenyap ketika di mulut gua terdengar suara ribut-*ribut.
“Pasti perempuan itu telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!”. Dan sesaat kemudian empat sosok tubuh berjubah merah dan berkerudung merah muncul di ruangan itu. Sultan terkejut sedang Dewi Kerudung Biru mendengus di balik kerudungnya. Salah seorang dari anggota Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka. “Lihat! Tidak salah keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!”
Anggota Iblis Pencabut Sukma yang lain, yaitu yang berbadan tinggi langsing melangkah ke muka. “Perempuan laknat! Lekas serahkan rnanusia itu pada kami!”. .
“He… he…. berani memaki berani mampus kunyuk kerudung merah!” kata Dewi Kerudung Biru pula.
“Betina edan, kau andalkan apakah berani berkata demikian?!” membentak si tinggi langsing. “Sebaiknya sebutkan nama masing-masing kalian! Aku tidak biasa membunuh krocokroco tanpa tahu namanya!”.
Si tinggi langsing tertawa hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata . “Namaku Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa….!”
“Hem..bagus… bagus. Gelaranmu boleh juga. Tapi aku tanya apakah kau akan maju seorang diri atau berempat sekaligus?!”
Merahlah muka Tangan Perenggut Jiwa. “Perempuan sedeng, sambut seranganku ini!” Tangan Perenggut Jiwa pukulkan tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi Kerudung Biru dorongkan pula tangan kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan Perenggut Jiwa terkejut ketika bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh angin pukulan lawan sehingga membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar kesamping.
“Siralaya, kau minggirlah. Biar aku yang selesaikan dajal betina ini!”. Anggota Iblis Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke muka.
“Sebutkan namamu!” bentak Dewi Kerudung Biru.
Namaku tidak perlu. Tapi gelarku adalah Si Penggoncang Langit!”.
“Ho… ooo…. gelarmu keliwatan sekali sehingga tidak cocok dengan tubuhmu yang kontet itu! Bagusnya kau pakai gelar Kodok Buduk!” mengejek Dewi Kerudung Biru.
Mulut Si Penggoncang Langit berkemik. Sekali kedua tangannya bergerak maka dua gelombang angin yang menggetarkan ruangan itu melesat ke arah Dewi Kerudung Biru.
Hebatnya, sang Dewi yang saat itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa menghina dan kebutkan tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si Penggoncang Langit!
Penasaran sekali anggota Perkompulan Iblis Pencabut Sukma ini melompat ke muka. Dua tangan terpentang lebar dan bergerak bersamaan dalam satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata!
“Manusia busuk macam kau tidak pantas dekat-dekat padaku!” bentak Dewi Kerudung Biru. Tangan kanannya memukul. Si Penggoncang Langit mencelat empat tombak terguling di tanah, mengeluarkan suara seperti orang muntah, tapi yang keluar dari mulutnya adalah semburan darah segar!
Dalam keadaan begini Si Penggoncang Langit segera keruk saku jubah merahnya, keluarkan sebuah pil, menelannya dengan cepat lalu bersemedi pula dengan cepat dalam cara yang aneh yaitu kepala ke bawah kaki ke atas!
Melihat dua kawannya dibikin kalah mentah-mentah maka majulah anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang ketiga. Manusia ini berbadan gemuk. “Dewi Kerudung Biru, aku tak akan kasih tahu nama juga tak perlu sebutkan gelaranku padamu. Tapi jika kau berpemandangan dan berpengalaman luas lihat seranganku ini!”. Sigemuk ini menutup kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya. Maka enam pisau terbang merah melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung Biru! Diam-diam Sultan terkejut melihat kehebatan serangan pisau ini. Dia khawatir kalau Dewi Kerudung Biru tak sanggup mengelakkan keenam pisau itu sekaligus!
Tapi anehnya yang diserang ganda tertawa semerdu perindu. Pisau terbang yang pertama ditangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian senjata ini dipergunakannya untuk menangkis lima pisau terbang lainnya sehingga pisau yang di tangan maupun yang ditangkisnya patah dua dan bermentalan!
Terbeliaklah mata keempat anggota Iblis Pencabut Sukma itu. Lebih-lebih Si Pisau Terbang. Selama hidup baru kali ini dia melihat serangan pisau-pisau terbangnya dihancurkan demikian rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia melihat Dewi Kerudung Biru lemparkan kuntungan pisau kearahnya. Cepat-cepat Si Pisau Terbang berkelit tapi luput! Kuntungan pisau masih sempat menyambar telinga kirinya. Dan putuslah daun telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan!
Darah berlelehan. Dewi Kerudung Biru tertawa cekikikan! Kalap sekali maka berserulah Si Pisau Terbang. “Kawan-kawan mari kita kermus dajal betina ini!”.
Maka menyerbulah keempat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu. Melihat sang Dewi dikeroyok begitu rupa Sultan Hasanuddin tak tinggal diam. Dia menerjang ke muka dan lancarkan satu serangan cepat ke arah Tangan Perenggut Jiwa. Namun disaat itu Dewi Kerudung Biru menyibakkan badannya kesamping dengan berkata. “Sultan, kau tenang-tenang sajalah. Tak perlu susah-susah mengotorkan diri terhadap kroco-kroco bau tengik ini!”.
Sultan merasa tidak senang. Walau bagaimanapun saktinya Si Kerudung Biru namun pengeroyokan curang demikian rupa bertentangan dengan hati kesatrianya. Untuk kali kedua dia hendak menyerbu kembali. Namun disaat itu, terdengar jeritan Si Penggoncang Langit. Tubuhnya mencelat ke atas ruangan batu. Kepalanya hancur. Belum lagi tubuh Si Penggoncang Langit sampai ke lantai maka terdengar pekik anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kedua. Tulang dadanya melesak ke dalam, iga-iganya putus!
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa mengamuk habis-habisan. Dua puluh jurus berlalu sangat cepat. Dalam dua puluh jurus itu keduanya terus menerus mendesak Dewi Kerudung Biru dengan hebat. Ruangan bergoncang laksana dilanda lindu! Tiba-tiba Dewi Kerudung Biru melengking keras. “Iblis-iblis bau kentut! Minggatlah ke neraka!”. Sepasang tangan sang Dewi yang halus tapi mengandung hawa kematian yang dahsyat membagi serangan dalam jurus dahsyat bernama “sepasang tangan menebar maut”.
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa tiada kesempatan lagi untuk mengelak. Menangkis mereka tiada punya nyali. Menghadapi maut di depan mata ini maka menjeritlah keduanya! Namun disaat itu pula dari luar terdengar suara menggeledek. “Manusia yang berani menghina anggota Perkumpulan adalah korbanku yang kedua ratus!”. Begitu suara habis maka dua larik sinar merah yang panas menyembur ke arah Dewi Kerudung Biru!
***
SEBELAS
SULTAN melompat ke samping untuk hindarkan sambaran sinar merah sedang Dewi Kerudung Biru sebaliknya malah pentang kedua tangan dan mendorong ke muka. Pertemuan yang dahsyat dari dua aliran pukulan menimbulkan goncangan yang hebat laksana dunia ini mau kiamat! Dewi Kerudung Biru berdiri tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan tadi, yang saat itu hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut goa kena diterpa angina pukulan Dewi Kerudung Biru!
Sesaat kemudian ketika manusia yang di luar goa itu masuk ke dalam ternyata dia adalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Di belakangnya menyusul satu lusin anggota lainnya. Dengan marah, Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma itu membentak. “Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa, kalian memalukan saja tidak sanggup menghadapi betina galak ini. Biar aku yang jinakkan dia!”. Habis berkata begitu maka Iblis Pencabut Sukma segera lancarkan jurus “menendang langit menjungkir awan”! Tidak sampai di situ saja maka dia susul serangan itu dengan taburan pukulan kipas merah! Betul-betul dua jurus yang sangat menggetarkan dan luar biasa!
Dewi Kerudung Biru berkelebat cepat. Mulutnya terbuka.
“Huaaah….!”.
Dari mulut sang Dewi menyembur sinar biru yang dahsyat. Iblis Pencabut Sukma terkejut. Bukan saja dua jurus serangannya tadi menjadi buyar, tapi serangan lawan dengan hebatnya terus menyerang kearahnya. “Asap kencana biru!,” seru Iblis Pencabut Sukma dengan kaget. Cepat sekali dia melesat enam tombak ke atas. Sewaktu turun dia sudah cabut sebilah pedang merah kemudian sambal menyerang dia berteriak. “Anak-anak, ayo tunggu apa lagi?!”. Mendengar ini maka semua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma segera menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut membantu sang Dewi, namun setiap saat dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi Kerudung Biru mendorongnya ke belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa!
Dewi Kerudung Biru sungguh luar biasa dalam bertahan dan menyerang. Namun lawanlawannya banyak sekali, apalagi di bawah pimpinan Wakil Ketua mereka! Sesudah tiga puluh jurus berlalu maka sang Dewi mulai terdesak. Dua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berhasil ditewaskannya namun serangan-serangan lawan bukannya mengendur melainkan bertambah dahsyat. Diam-diam Sultan menjadi gelisah. Kali ini sang Dewi pasti tak bisa bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi, pikirnya. Maka pada saat Dewi Kerudung Biru sibuk menghadapi lawannya, terbungkus oleh sinar pedang merah dengan cepat Sultan menerjang ke muka. Bantuan Sultan dalam lima jurus di muka sanggup mengimbangi lawan-lawan yang lihay itu. Namun lambat laun mulai mengendor. Bersama sang Dewi kembali keduanya terdesak! Dewi Kerudung Biru semburkan lagi “asap kencana biru”nya. Namun angin pedang merah di tangan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan hebatnya berhasil membuyarkan asap sakti itu!
“Betina galak! Sekarang terimalah kematianmu!” bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Berbarengan mereka sama angkat tangan kanan ke atas siap untuk lancarkan pukulan “pencabut sukma”. Satu pukulan “pencabut sukma,” saja dahsyatnya bukan main, apalagi sekaligus duabelas pukulan, dapat dibayangkan bagaimana luar biasa kehebatannya! Dewi Kerudung Biru pentang kedua lengannya dan putar tubuh laksana balingbaling. Mulutnya tiada henti menghembus-hembus mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka duabelas tangan lawanpun ditarik ke belakang!
Dalam suasana yang diliputi seribu ketegangan itu, tiba-tiba mengaunglah suara seperti suara seribu tawon mendengung. Di antara dengungan itu melengking pula suara siulan yang disusul oleh berkiblatnya seputaran sinar putih menyilaukan mata! Tiga anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, termasuk Tangan Perenggut Jiwa terpekik dan rebah ke lantai mandi darah. Selarik sinar putih yang disertai raungan dahsyat kembali berkiblat dan Wakil Ketua Perkumpulan Pencabut Sukma dan anak-anak buahnya terpaksa batalkan serangan dan melompat ke satu pojok.
“Pendekar 212!” terdengar seruan Sultan begitu dia kenali siapa adanya pendatang baru itu. Dewi Kerudung Biru sendiri memandang pada Wiro Sableng dengan sinar mata yang berkilat-kilat. Di balik pandangan mata itu seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh amarah.
Pendekar 212 Wiro Sableng sunggingkan senyum di wajahnya yang keren sedang tangan kanannya mempermainkan Kapak Maut Naga Geni 212. Melihat pada angka 212 yang tertera pada dua mata kapak di tangan si pemuda maka berkatalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, sambil melintangkan pedang di muka dada. “Jadi kaukah yang selama ini dijuiuki Pendekar 212 itu…?!”.
Jawaban Wiro Sableng hanya tertawa mengekeh.
“Orang gendeng, apa kau sudah bosan hidup mau campur urusan orang lain….?!,” tanya Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma.
“Atau mungkin masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!” ujar Si Pisau Terbang.
“Siapapun kalian adanya tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan berkerudung merah!,” ejek Pendekar 212 pula!
Marahlah Si Pisau Terbang. Tanpa banyak cerita dia lepaskan sekaligus selusin pisau terbang beracun ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng gerakkan Kapak Maut Naga Geni 212 membuat setengah lingkaran.
“Tring… tring…. tring…”.
Kedua belas pisau terbang itu musnah patah-patah. Melototlah mata Si Pisau Terbang. Dia menyurut undur dua langkah. “Pisau Terbang, kau minggirlah. Biar aku yang antarkan manusia bosan hidup ini ke pintu gerbang akhirat!”
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma maju dua langkah. Sultan Hasanuddin dengan ilmu menyusupkan suara beri peringatan pada Pendekar 212. “Sobat, hati-hatilah terhadapnya. Dia sakti sekali!”‘
Begitu peringatan Sultan berakhir maka Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma telah lancarkan serangan pedang merah dalam jurus yang luar biasa. Jurus ini sekaligus merupakan empat tebasan dan empat tusukan!
“Ah cuma ilmu pedang picisan saja mau diandalkan,” Ejek Wiro. Kapak Naga Geni ditangannya menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tiada berani mengadu senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan bagaimana sinar putih senjata lawan membuat pedangnya tak bisa bergerak leluasa. Manusia ini membatin. “Celaka, paling lama aku hanya bisa layani si keparat ini dalam dua puluh lima jurus!”. Dan dia segera putar otak untuk cari kesempatan larikan diri!
Pendekar 212 yang tahu gelagat lawan segera lancarkan serangan ganas. Wakil Ketua Perkumpulan. Iblis Pencabut Sukma angsurkan pedang merah kemuka untuk menangkis karena bertindak berkelit tiada punya kesempatan lagi.
“Trang”!
Maka patahlah pedang merah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu! Keringat dingin memercik di kening manusia iblis ini! Nyalinya lumer! Sambil angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas untuk lepaskan pukulan yang sangat diandalkannya yaitu pukulan pencabut sukma, maka dia berseru pada sisa-sisa anak buahnya.
“Kalian jangan mematung saja! Mari sama kita bereskan anjing kurap ini!'”. Maka delapan anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan membentak dahsyat segera menerjang ke muka dan langsung lancarkan pukulan pencabut sukma!
“Wiro! Awas! Mereka hendak lepaskan pukulan pencabut sukma!” seru Dewi Kerudung Biru. Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya inilah satu hal yang mengejutkan Pendekar 212 Wiro Sableng! Keterkejutan ini membuat dia menjadi lengah seperempatan detik. Dan itu sudah cukup bagi Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya!
“Mampuslah!”
Dewi Kerudung Biru menjerit! Sultan sendiri pucat lesi parasnya Tiba-tiba Pendekar 212 meraung laksana halilintar. Dia melompat ke muka Kapak naga Geni 212 menderu. Empat suara pekikan seperti mau memecahkan anak telinga. Empat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma terkapar dengan tubuh hampir kuntung! Pendekar 212 ayunkan Kapak Naga Geni 212 sekali lagi namun disaat itu Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak buahnya sudah lenyap larikan diri keluar goa.
Pendekar 212 bediri nanar. Sultan melompat ke muka dan merangkul tubuh Wiro. Di balik kerudungnya Dewi Kerudung Biru menggigit bibir. Sepasang matanya yang jeli dipejamkan.Wiro ambil sebutir pil dari saku pakaiannya lalu ditelan dengan cepat. Dewi Kerudung Biru kemudian berdiri dan kedua tangannya ditekankan ke bahu Pendekar 212 untuk alirkan tenaga dalam guna bantu menyembuhkan luka yang diderita Pendekar itu. Namun sesaat kemudian Pendekar 212 mengerang halus lalu pingsan tiada sadarkan diri!
***
DUA BELAS
SULTAN cemas sekali melihat keadaan Pendekar 212 demikian rupa. Bersama Dewi Kerudung Biru, Wiro dibaringkan di lantai, kepalanya diganjal dengan sehelai kain yang dilipat-lipat.
“Dewi, apakah… apakah dia…?” Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya. Dewi Kerudung Biru hela nafas. “Sebenarnya aku yang salah karena aku telah berseru memanggil namanya tadi,” berkata perempuan itu. Dihelanya lagi satu kali nafas dalam. “Tapi lukanya tak begitu parah. Besok pagi dia sudah sembuh kembali. Untung saja berilmu tinggi, kalau tidak keseluruhan isi perutnya pasti akan berbusai ke luar dari mulut.”
“Dewi, kau tahu nama pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya…?”
Dewi Kerudung Biru elakkan pertanyaan itu dengan balik menanya. “Kau sendiri punya hubungan apa dengan dia…?”
Maka Sultan Hasanuddin menuturkan mulai pertama kali dia kenal dan ditolong oleh Pendekar 212. Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi Kerudung Biru berkilat-kilat. Dan hal ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan sehingga dia merasa yakin pastilah ada hubungan apa-apa antara Dewi Kerudung Biru dengan Pendekar 212 sebelumnya. Tapi untuk bertanya lebih jauh Sultan merasa segan.
“Dia memang sakti sekali, Sultan,” berkata sang Dewi. “Sikapnya kadang-kadang lucu tapi juga menyakitkan hati. Bahkan banyak orang yang menyangka dia kurang sehat pikiran. Tapi hatinya sepolos permata, seputih kertas, jujur. Beberapa tokoh persilatan telah meramalkan bahwa kelak dikemudian hari dia bakal merajai dunia persilatan…”
Sultan Hasanuddin manggut-manggut.
“Sultan, dalam hal ini kita tak punya waktu lama. Aku akan ajarkan padamu beberapa jurus ilmu silat dan ilmu asap kencana biru… ”
“Aku haturkan ribuan terima kasih Dewi,” kata Sultan dengan gembira.
“Silakan duduk bersila dan pejamkan mata,” Dewi Kerudung Biru berkata.
Sultan menurut. Dia duduk bersila dan pejamkan mata. Dewi Kerudung Biru kemudian salurkan tenaga dalamnya ke tubuh Sultan melalui pundak. Selesai menerima saluran tenaga dalam itu Sultan merasakan tubuhnya sangat enteng dan segar bugar. “Sekarang aku akan ajarkan padamu dua jurus ilmu silat. Dua jurus ilmu silat ini hanya empat orang yang pernah memilikinya. Yaitu Pendekar Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi Kencana Wungu. Ketiganya sudah meninggal. Aku adalah pewarisnya yang keempat dan bila kuajarkan dua jurus itu kepadamu maka kau adalah perwaris yang kelima! Jurus yang pertama ialah jurus naga kepala seribu mengamuk. Yang kedua, jurus Cakar garuda emas. Keduanya merupakan jurus-jurus yang sukar dicari bandingannya dalam dunia persilatan. Jika kau benar-benar meyakininya, percayalah tidak sembarang musuh bisa melayanimu.”
“Terima kasih Dewi… ribuan terima kasih. Jadi kalau begitu Dewi adalah murid dari Dewi Kencana Wungu…?”
Sang Dewi mengangguk. “Mari kita mulai,” katanya.
Karena Sultan sebelumnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka kedua jurus yang diajarkan padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi Kerudung Biru gembira sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap kencana biru. Ilmu ini agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena tekunnya beberapa jam kemudian dia berhasil juga menguasainya.
“Kecerdasanmu luar biasa sekali, Sultan,” kata Dewi Kerudung Biru. “Malam ini, sampai esok pagi teruslah berlatih.”
“Nasihat Dewi akan kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan malam itu, seorang diri Sultan melatih diri. Dewi Kerudung Biru sementara itu duduk bersemadi. Meskipun dia pejamkan mata namun bila ada jurus-jurus yang agak salah dilakukan oleh Sultan dia mengetahuinya dan segera menegur !
Keesokan paginya…
Di luar gua burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi yang ditandai munculnya sang surya di ufuk timur. Di dalam gua Sultan tengah duduk berhadap-hadapan dengan Dewi Kerudung Biru.
“Yakini dan pelajari terus ilmu-ilmu yang telah kau milik itu Sultan. Kelak kemudian hari kau akan buktikan sendiri kemanfaatannya. Sekarang, selagi hari masih pagi, selagi udara masih segar, maka segeralah berangkat ke Demak. Dalam semediku malam tadi aku mendapat sedikit renungan petunjuk dari Yang Kuasa bahwa kekuasaan kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten tidak akan lama….”
Sultan mengangguk. Dia memandang pada tubuh Pendekar 212 yang sampai saat itu masih juga terbaring dalam pingsannya. “Bagaimana dengan sahabatku ini, Dewi? Kalau bisa aku ingin berangkat bersama-sama dia…”
Dewi Kerudung Biru menggeleng. “Dalam rencana untuk menumpas kaum pemberontak, dalam usaha menegakkan yang benar dan menghancurkan yang bathil, kalian berdua sama satu tekat dan satu hati. Namun dalam mencapainya masing-masing kalian mempunyai cara tersendiri. Harap kau bisa merenungi hal ini, Sultan…”
Sultan Hasanuddin termenung sejenak. Memang ucapan Dewi Kerudung Biru itu dapat dipahaminya.
Dia memandang lagi pada Wiro Sableng. “Apakah dia akan segera siuman dan sembuh kembali, Dewi?” bertanya Sultan.
Sang Dewi mengangguk.
“Mengenai diri Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda, bisakah kau memberi petunjuk…?”
“Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma, Keris Tumbal Wilayuda juga mereka yang mencurinya…”
“Kalau begitu,” kata Sultan dengan kepalkan tinju. “aku akan cari sarang mereka…!”
Dewi Kerudung Biru gelengkan kepala. “Selain besar bahayanya juga kau mesti pergi ke Demak sekarang juga Sultan.”
“Aku tidak takut mati!,” kata Sultan jantan. “Aku rela korbankan jiwa demi tegakkan Kerajaan Banten yang syah kembali.”
“Aku puji hati kesatriaan dan kecintaanmu pada Kerajaan Banten, Sultan. Tapi ingat, agaknya caramu untuk mencapai rencana itu hanya dengan mengikuti kehendak hati sendiri. Salah-salah kau bisa celaka dan Banten tetap dikuasai oleh kaum pemberontak Parit Wulung.”
“Kalau begitu katamu, aku menurut,” ujar Sultan Hasanuddin akhirnya. “Tapi sebelum pergi perkenankanlah aku melihat parasmu.”
Dewi Kerudung Biru menggeleng. “Sayang, masih belum.saatnya aku mengabulkan permintaanmu Sultan. Harap dimaafkan.”
Sultan Hasanuddin menghela nafas dalam. Dia ucapkan lagi rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
“Jasa dan pertolonganmu akan kuingat, akan dikenang oleh rakyat Banten. Disatu ketika aku akan datang lagi menyambangimu, Dewi,” Sultan memanggut memberi hormat lalu meninggalkan tempat itu.
Kira-kira tiga kali sepeminuman teh lamanya Sultan meninggalkan Goa Dewi Kerudung Biru maka dihadapan jalan yang ditempuhnya tahu-tahu muncullah tiga orang penunggang kuda. Ketiganya berjubah dan berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma!”
Sesaat kemudian merekapun berhadap-hadapanlah. Anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Suma yang paling muka buka suara membentak, “Lekas mengaku, apa kau Sultan Banten yang melarikan diri itu?!” Kawannya yang lain menyela. “Melihat kepada tampangnya pasti tidak salah lagi! Ayo kawan-kawan mari kita berebut pahala meringkus manusia ini!” Maka ketiga anggota Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah dari kuda masingmasing. Sambil melompat ketiganya sekaligus keluarkan jurus warisan Ketua mereka yang dinamai “tiga pasang lengan meremas tangkai bunga teratai” Yang satu datang dari atas, yang kedua dari depan dan yang terakhir dari belakang! Tapi Sultan yang sekarang jauh berbeda dengan Sultan sehari sebelumnya.
Sekali Sultan membentak maka terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul dengan gerakan sebat laksana ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !
Melihat ini, terkejutlah ketiga penyerang. Buru-buru mereka batalkan serangan jurus pertama dan menyusul dengan jurus “memukul kasur menggeprak bantal!” Ini adalah satu jurus yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan Iblis yang di atas hantamkan dua telapak tangannya sekaligus sedang yang di depan dan di belakang kirimkan pukulan keras ke dada dan ke punggung. Tak ayal lagi Sultan segera praktekkah ilmu yang baru diyakininya dari Dewi Kerudung Biru yaitu keluarkan jurus “cakar garuda emas!”
“Brettt… bret!”
“Kurang ajar! Matipun kau masih cukup pantas untuk diserahkan kepada Ketua kami!” bentak anggota Perkumpulan Iblis yang sempat selamatkan diri. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Serentak ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Namun sebelum pukulan “pencabut sukma” itu sempat mereka laksanakan. Sultan buka mulutnya dan asap biru menggebubu ke arah ketiga penyerangnya.
“Asap kencana biru!” seru salah seorang anggota Perkumpulan Iblis dengan terkejut. Buru-buru dia tutup jalan nafas. Tapi dua orang kawannya terlambat. Begitu tercium oleh keduanya kepulan asap biru yang mengandung racun itu maka hancurlah pembuluh-pembuluh darah dan pecahlah paru-paru mereka. Keduanya mati di situ juga!
“Pemuda, ada hubungan apa kau dengan Dewi Kerudung Biru? Apakah kau muridnya?!” bentak anggota Perkumpulan Iblis yang masih hidup.
Sultan kertakkan rahang. Tubuhnya berkelebat. Dua tangan terpentang lebih dahsyat dari yang pertama tadi dan “brak”! Hancurlah mulut yang membentak itu! Tubuh anggota Perkumpulan Iblis itu kelojotan sebentar lalu kaku tegang untuk selamalamanya !
***
TIGA BELAS
KETIKA Wiro Sableng, siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh satu paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya matanya dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain biru. Terkejutlah pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik kerudungnya, Dewi Kerudung Biru menjadi kemerah-merahan pipinya.
Wiro Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan. “Kemana dia…?!” tanya Wiro.
“Dia siapa…?”
“Sultan!”
“Sudah pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!” Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah didengar dan dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana! Ketika ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun segera menjura. “Dewi Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak aku akan balas budi baikmu itu.”
“Aku tak mengharapkan balasan apa-apa…”. Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya.
Melihat sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik kerudung itu. Namun diajukannya dulu pertanyaan. “Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda berada…?”
“Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga ada pada mereka. Kau harus cepat turun tangan Pendekar 212!”
“Tapi dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?”
“Komplotan itu bersarang di Lembah Batu Pualam…!”
“Terima kasih atas keteranganmu Dewi,” Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. “Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota komplotan itu kau telah berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah…?”
Tergetarlah hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan lain menjawablah dia . “Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke mana-mana…” ,
“Aku bukan pendekar apa-apa..,” kata Wiro merendah. “Dan terus terang saja aku rasarasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan mengenali suaramu…”
Dewi Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora. Dikerahkannya tenaga dalamnya agar tidak gemetar suaranya. “Tidak . . . kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar212. Dan di dunia ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . .. .”
Wiro Sableng maju satu langkah. “Dewi, kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu sebenarnya.”
“Kau sudah tahu.”
“Ah… Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula. “Di lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka tinggalkan tempat ini.
Tapi pemuda itu tetap berkeras. “Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong aku, musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah kau juga tak sudi buka kerudung itu sebentar dan memperlihatkan paras…?”
Dewi Kerudung Biru menghela nafas. “Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…”
“Menyesal kenapa?”
“Kau akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…”.
“Muka yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah bagus dan hati busuk jahat.”
“Permintaanmu tak dapat kukabulkan,” kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan yang dipaksakan.
Pendekar 212 maju lebih dekat. “Kalau begitu..,” katanya, “harap maafkan karena aku terpaksa melakukan ini”. Wiro ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah.
“Apakah seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!,” bentak Dewi Kerudung Biru.
Tangan Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan kepalanya maka diteruskannya niatnya.
“Sret!”
Terbukalah kerudung biru itu!
Dan terbeliaklah mata Pendekar 212. “Anggini.!,” serunya. Ternyata paras di balik kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang dulu pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. “Maut Bernyanyi di Pajajaran”). Untuk beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongonglongongsedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaan serta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari Pendekar 212 dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak terduga!
“Apakah dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?” membathin Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
“Ini adalah satu hal yang tak terduga. Anggi…ni…,” desis Wiro.
Anggini anggukkan kepala. “Ya, suatu hal yang tak terduga..,” suaranya yang rawan ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda.
“Tapi ini adalah juga merupakan hal yang menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula. “Ilmumu maju pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya adalah engkau sendiri…?!”
Karena Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro. “Aku tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…”
“Ah….. Anggini tarik nafas dalam.
Pendekar 212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang lewat ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua Sanggreng. “Selama waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah demikian…?”
Anggini mengangguk.
“Rupanya kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?” tanya Wiro Sableng.
“Jangan menduga yang bukan-bukan, Wiro..,” jawab Anggini dan dalam hatinya dia menambahkan. “Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…”
Setelah termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. “Malam menjelang pagi tempo hari itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau… Apakah kau sudah kembali dan bertemu dengan gurumu Dewa Tuak…?”
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
“Kenapa . . .?”
“Mana mungkin aku kembali jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari…?” Habis mengucapkan kata-kata itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah.
Wiro Sableng tertawa. “Ho-oh, jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai sampai sekarang… Wiro geleng-gelengkan kepala.” (Sebagaimana diketahui-dalam buku “Maut Bernyanyi di Pajajaran,” guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan Anggini
untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu tidak diperkenankan kembali kepertapaan, kecuali dengan membawa Pendekar 212 sebagai calon suaminya !
“Semustinya kau kembali ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah niatnya yang kurang bisa diterima itu…!”
“Aku tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya kembali! Dari jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan berarti hanya untuk terima hukuman.
“Dan karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?” .
“Ya,” lalu tanpa diminta gadis itupun memberi penuturan. “Pagi sesudah kau pergi itu, aku terus mencarimu sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua orang penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat bagaimana keganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun mereka dengan sengaja mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu berhasil kubunuh tapi untuk menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian diriku dilarikan ke sarang mereka di Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah kamar…” Sampai di sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali. Air mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat itulah dia berada dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang selama ini selalu lucu jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan yang masih belum habis. Dengan menguatkan hatinya maka Anggini kemudian meneruskan penuturan. “Ketua Iblis Pencabut Sukma laknat itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya pada bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti menerobos masuk ke dalam kamar dan melarikanku…”
Anggini menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. “Ternyata nenek-nenek sakti itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya menjadi murid. Sekarang beliau sudah tiada. Sudah meninggal…” Lama kesunyian menjelang.
“Apakah rencanamu untuk masa mendatang…?” bertanya Pendekar 212.
“Aku sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…”
“Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan komplotan terkutuk itu.” Lagi-lagi kesunyian menyeling.
“Anggini..,” kata Wiro memecah kesunyian itu. “Sekali ini pertemuan kita tak bisa berjalan lama…”
”Kau memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama denganku..,” kata Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
Pendekar 212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan ada hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya. “Aku sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita harus sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali Keris Tumbal Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…”
Anggini terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya.
“Aku pergi sekarang, Anggini…”
“Wiro…,” suara Anggini tersekat ditenggorokan.
Langkah Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di hadapannya. Kemudiandilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari tangannya yang diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk dan mencium kening Anggini. Ketika kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu merangkul lehernya erat sekali.
“Wiro… Wiro… jangan pergi dulu…” bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi wajah masing-masing. Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini memejamkan matanya, Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa hangatnya pertemuan sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati. Kemudian rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir masingmasing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai menari-nari, saling lumas melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak hendak dilepaskan untuk selama-lamanya.
“Wiro… aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali.
“Hemm..,” Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu.
“Kaupun cinta padaku bukan…?”
“Hemmm…,” Wiro menggumam lagi.
“Jawab Wiro. Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah terbaring berpagutan di lantai.
“Wiro . . . .”
“Tiba-tiba di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat.
“Ha… ha… sungguh satu pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan…teruskanlah! Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?! Itu seribu kali lebih nikmat… Ha… ha… ha!”
Seorang lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu.
“Pendekar 212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim ke liang kubur tak apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya akan bercumbu dan tidur dengan cacing!”
Baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya melompat cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka di bagian dada !
***
EMPAT BELAS
DI PINTU ruangan berdiri berkacak pinggang dua manusia bermuka buruk angker. Yang berselempang kain putih mukanya hitam macam pantat kuali, rambut awut-awutan, tampangnya seperti singa dan dia bukan lain Resi Singo Ireng! Di keningnya tertera tiga angka 212. Di sampingnya berselempang kain biru berdiri kakaknya yaitu Resi Macan Seta yang tampangnya persis seperti macan. Kulit mukanya coreng moreng belang tiga, kuning, merah dan hitam! Kedua pentolan pemberontak kaki tangan Parit Wulung ini telah diperintahkan oleh Parit Wulung untuk mencari kembali Keris Tumbal Wilayuda. Dan hari itu mereka sampai di Goa Dewi Kerudung Biru di mana mereka telah dapat mencium jejak Pendekar 212. Bukan saja kedua Resi ini berprasangka bahwa Keris Tumbal Wiiayuda sudah berada di tangan Pendekar 212, tapi Resi Singo Ireng sendiri memang mempunyai dendam kesumat terhadap Pendekar 212 yaitu sewaktu dibikin muntah darah dalam pertempuran di perbatasan Kerajaan Banten tempo hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya ke mana-mana sampai saat itu dikulit keningnya di mana tertera angka pukulan 212!
“Siapa mereka, Wiro ?,” tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara.
“Dua manusia keparat yang membantu Parit Wulung si pemberontak terhadap Banten!,” menyahuti Pendekar 212.”
“Eeee… eee… eee. Kenapa acara kalian tidak diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng dengan nada mengejek.
Pendekar 212 menyengir. “Bicaramu keren sekali manusia muka pantat Kuali. Tentunya kau andalkan manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!”
Mata Resi Macan Seta membeliak garang. “Pentang kau punya mata, bukalah lebarlebar agar tahu dengan siapa berhadapan!” bentaknya.
“Ah, manusia jelek macammu perlu apa aku kenali. Lagi pula, melihat kepada tampangmu, aku kawatir apa kau betul-betul manusia atau harimau jadi-jadian!,” Habis berkata begitu maka Pendekar 212 tertawa mengakak.
“Pemuda besar mulut, aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulanku ini?” bentak Resi Matjan Seta. Kata-kata ini ditutup dengan menghantam tangan kanannya ke muka. Maka bertaburlah sinar merah kekuningan ke arah Wiro dan Anggini. Pukulan “sinar surya tenggelam.” .
Pendekar 212 dan Anggini melompat ke samping Anggini sementara itu dengan cepat mengenakan kembali kerudung birunya.
Kejut Resi Macan Seta bukan kepalang ketika melihat Pendekar 212 dan si gadis sanggup mengelakkan serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah bahwa nama Pendekar 212 bukan kosong belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari adiknya dapat dipecundangi!
Ketika melihat si gadis mengenakan kerudung kejut Resi Matjan.Seta dan Singo Ireng lebih-lebih lagi.
“Kiranya kita berhadapan pula dengan Dewi Kerudung Biru, saudaraku Singo Ireng!”. kata Matjan Seta.
“Betul, tapi sang dewi ini biar aku bekuk hidup-hidup. Tampang dan, tubuhnya yang montok lumayan sekali untuk dikekapi sehari semalam!”
Marahlah Wiro mendengar ucapan Singo Ireng itu. “Manusia pantat kuali, angka 212 di keningmupun belum sanggup kau hapus, sekarang sudah berani-beranian unjuk gigi!”
Si Singo Ireng tidak ambil peduli ucapan Wiro Sableng tapi segera menyerang Dewi Kerudung Biru. Sengaja dikeluarkannya jurus “memetik bunga memotes tangkainya”. Jurus ini ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului oleh satu totokan jarak jauh yang dahsyat!
Namun dugaan Singo Ireng bahwa dia akan sanggup membekuk hidup-hidup, Dewi Kerudung Biru dalam satu jurus hebat itu meleset besar! Dewi Kerudung Biru sambuti serangannya dengan jurus “naga kepala seribu mengamuk!” Kaget sekali jadinya Resi Singo Ireng ketika menyaksikan bagaimana kedua tangan lawan berkelebat sangat cepat naik turun membabat ke samping dan berputar bergelung, menyerang ke arahnya. Selama malang melintang membuat kejahatan di dunia persilatan baru kali ini dia menghadapi jurus aneh ini! Sebaliknya Resi Matjan Seta yang punya lebih banyak pengalaman segera berseru. “Singo lreng, awas itu pukulan naga kepala seribu mengamuk!”
Mendengar ini tersurutlah Resi Singo Ireng. Cepat-cepat dia kemudian melompat ke udara ketika menukik ke bawah dia lancarkan empat tendangan empat pukulan. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam jurus-jurus yang dahsyat.
“Manusia muka coreng moreng! Apa hanya kalian berdua saja yang datang antarkan nyawa ke mari…?” tanya Pendekar 212 pada Matjan Seta.
“Bocah gila!” bentak Matjan Seta marah sekali sehingga mukanya yang coreng moreng itu semakin menyeramkan.
“Jika kau tidak kepingin mampus, sebaiknya lekas serahkan Keris Tumbal Wilayuda dan beri tahu di mana Sultan berada. Niscaya kau punya nyawa akan aku ampunkan!”
Pendekar 212 bersiul keras. “Kau bukan Tuhan yang bisa mengampunkan manusia! Sebaiknya kupertemukan saja
kau lekas-lekas dengan malaekat maut!”
Resi Macam Seta mengaum macam harimau terluka. Tubuhnya berkelebatan dan lenyap. Angin dahsyat laksana angin prahara menderu ke arah Pendekar 212. Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri dari berguling di lantai. Tangan kanannya memukul ke atas! Pukulan Matjan Seta yang tidak mengenai sasarannya terus melanda dinding batu. Dinding itu pecah! Tetapi sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana tubuhnya terasa seperti diangkat ke atas dan satu angin tajam menyakiti kulit kakinya. Ketika dia memandang ke muka Pendekar 212 sudah tak ada dihadapannya.
“Aku di sini, Matjan Seta!”
Matjan Seta putar tubuh ke belakang. Begitu tubuhnya berputar begitu dan melihat satu gumpalan angin yang kerasnya laksana baja menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal lagi melompat empat tombak ke udara. Mendadak didengarnya suara siulan dekat sekali di telinganya. Dia hantamkan tangannya ke samping. Tapi….
“Bluk!”
Resi Matjan Seta terpelanting ke lantai. Tulang punggungnya serasa remuk. Dia kerahkan tenaga dalamnya dengan cepat ke bagian yang kena dipukul lawan lalu atur jalan nafas. Ketika dia berdiri lurus-lurus kembali, muka macannya kelihatan bertambah angker. Kedua kakinya terpentang lebar. Tubuhnya sedikit membungkuk ke muka. Kedua tangannya yang diangkat ke atas kelihatan bergetar. Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan seluruh tenaqa dalamnya pada dua tangan itu, dengan segera pendekar ini bersiap-siap pula!
Tangan kanan Resi Matjan Seta kelihatan berwarna merah kekuningan. Lebih merah dan lebih kuning dari yang tadi. Pendekar 212 tahu bahwa lawannya bakal lepaskan lagi pukulan “sinar surya tenggelam” tapi yang lebih hebat dari yang pertama tadi. Dan ketika melirik pada tangan kiri sang Resi, tangan itupun kini berwarna sangat merah dan mengepulkan asap merah!
Dua pukulan sekaligus tak bisa dianggap enteng! Pendekar 212 tidak mau ambil risiko. Segera tangan kanannya ditinggikan ke atas. Dan cepat sekali lengan sampai ke jari-jari tangan kanan itu menjadi sangat putih dan menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari !
Mata Resi Matjan Seta membeliak melihat hal itu. “Pukulan sinar matahari!,” keluhnya dengan hati tergetar. “Benar-benar pemuda rambut gondrong ini memiliki ilmu kesaktian yang tinggi luar biasa! Apakah dia benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Eyang Sinto Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin.
Namun percaya, bahwa dua, pukulannya yaitu pukulan “inti api” dan pukulan “sinar surya tenggelam” akan dapat mengimbangi pukulan lawan maka dengan serta merta dia hantamkan kedua tangannya ke muka. Dua gelombang sinar merah pun menderu ke arah Pendekar 212.
Pendekar 212 tunggu sampai dua gelombang sinar itu berada di pertengahan jarak antara dia dan lawan. Dan sedetik kemudian tangan kanannyapun turunlah ke bawah. Selarik sinar putih yang sangat panas dan menyilaukan menggebubu melabrak dua gelombang sinar merah,
“Bumm !”
Ruangan batu itu tergoncang hebat. Dinding batu angsrok, Lantai longsor sedang bagian atas ambruk! Terdengar keluhan maut Resi Matjan Seta. Di saat yang rasanya seperti mau kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat menyambar tubuh Dewi Kerudung Biru dan dilarikan ke luar goa. Sesaat mereka sampai di luar goa maka runtuhlah Goa Dewi Kerudung Biru. Resi Singo Ireng yang tak sempat selamatkan diri, mati tertimbun bersama saudaranya Resi Matjan Seta.
Di luar goa Pendekar 212 dan Dewi Keradung Biru saling berangkulan.
“Anggini… sangat disesalkan tempatmu yang bagus menjadi hancur runtuh. Tapi sebagiannya masih bisa kau pergunakan…”
Anggini mengangguk. Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu.
“Anggini,” kata Wiro lagi. Dilepaskannya pelukannya. “Waktuku tak banyak lagi. Aku harus segera ke Lembah Batu Pualam tempat bersarangnya Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma….. Sampai jumpa lagi, Anggini”.
“Aku ikut Wiro….!” seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari hadapannya. Gadis itu termanggu sejurus. Tapi kemudian segera pula dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
***
LIMA BELAS
LEMBAH Batupualam…..
Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan batu pualam yang berkilauan ditimpa sinar sang surya. Di mana-mana bahkan sampai ke dasar lembah terdapat gundukan-gundukan batu pualam putih. Di tengah dasar lembah kelihatan sebuah gedung besar bertingkat dua yang keseluruhannya mulai dari lantai sampai ke atap terbuat dari batu pualam. Gedung ini indah sekali bentuknya. Di beberapa bagian di luar dan di dalam gedung batu pualam ini terdapat ukiran-ukiran yang bagus sehingga sesungguhnya tak pantaslah bila gedung itu menjadi markas atau sarangnya komplotan terkutuk Iblis Pencabut Sukma!
Pendekar 212 berdiri di ujung timur tepi lembah, berlindung di balik sebuah onggokan batu pualam. Dari tempatnya berada dilihatnya gedung itu sepi-sepi saja. Tak ada seorangpun anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kelihatan. Dengan berlindung di balik gugusan-gugusan dan puing-puing batu pualam, Pendekar 212 mulai menuruni lembah. Dia sampai di dasar lembah kini. Jarak antaranya dengan gedung batu pualam kurang lebih tiga puluhan tombak. Wiro melompat ke balik gugusan batu pualam yang lain, melompat lagi ke kiri, lalu ke kiri lagi sehingga jaraknya kini dengan gedung itu hanya sekira sepuluh tombak.
Pintu depan gedung terbuka lebar-lebar, demikian juga jendela-jendela di tingkat bawah serta atas. Anehnya sampai saat itu suasana masih sunyi senyap seperti tadi. “Mungkin ada perundingan di dalam sana…,” pikir Pendekar 212. Dia memutuskan untuk menunggu sampai kira-kira sepeminum teh. Sementara itu di tingkat kedua gedung batu pualam….. Di sebuah ruangan rahasia kelihatan empat manusia berjubah dan berkerudung merah. Salah satu di antaranya jubah dan kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi sebuah mimbar. Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil Ketua Perkumpulan. Yang dua anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di pangkuan Wakil Ketua Perkumpulan saat itu terbaring tubuh Anjarsari.
Ketua Iblis Pencabut Sukma manggutkan kepala dan Wakilnya segera berdiri. Tubuh Andjarsari diletakkannya di kursi lalu dia melangkah kehadapan Ketua dan menjura. “Ketua, harap dimaafkan bila aku menjalankan tugas dan kembali ke sini agak terlambat. Ada beberapa rintangan di tengah jalan…”
“Kau berhasil mendapatkan Keris Tumbal Wilajuda?!” bertanya sang Ketua. Suaranya berat serak laksana palu godam.
Wakil Ketua angguKkan kepala lalu keluarkan sebilah keris yang keseluruhannya mulai dari sarung sampai ke kerisnya terbuat dari emas. Karena senjata ini senjata mustika maka dengan sendirinya memancarkan sinar kuning yang terang! Mata Ketua Iblis Pencabut Sukma berkilat-kilat melihat senjata itu. Begitu diterumanya diperhatiKannya sejurus lalu dimasukkannya ke batik pinggang.
“Apalagi yang kau bawa?!” tanya sang Ketua. Wakilnya putar tubuh sedikit dan menuding pada tubuh Andjarsari yang didudukkan di kursi. “Gadis itu adalah calon isteri Sultan Hasanuddin. Aku berhasil menculiknya…….”
“Sultan sendiri bagaimana . . . . . . , ?”.
“Aku juga sebenarnya hampir berhasil menculik dia waktu berada disarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya. Ketika kuikuti jejaknya ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru. Perempuan dajal itu hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa orang anggota jika seorang pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di situ!”
“Hem… memang akhir-akhir ini kudengar kabar selentingan tentang munculnya seorang pendatang baru yang aneh dalam dunia persilatan….” Ketua Iblis Pencabut-Sukma usap-usap dagunya yang tersembunyi di batik kerudung itu. Lalu tanyanya. “Jadi kau dan anak-anak buah tak sanggup membereskan pendekar itu?”.
“Manusia itu sakti sekali. Dia memiliki sebuah kapak bermata dua….. Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Hanya sebuah kapak buat penebang pohon saja kau takuti…. Bagaimana dengan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam….?”
“Mulanya, karena merasa bahwa kita masih satu golongan dan aliran dengan mereka, aku minta agar keris, Andjarsari dan Sultan diserahkan secara baik-baik. Tapi mereka membangkang. Terpaksa tak satupun yang aku kasih hidup….”
“Itu bagus!,” kata Ketua Iblis Pencabut Sukma “Dalam waktu dua atau tiga hari dimuka, kita akan segera berangkat ke Banten! Sampai saat ini secara tidak langsung, dengan adanya Keris Tumbal Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah milik kita. Dan sebagai balas jasamu, kau boleh ambil itu gadis!”.
Gembiralah hati sang Wakil mendengar itu. Sesaat sesudah sang Ketua meninggalkan ruangan disusul oleh dua orang anggota kelas satu tadi maka Wakil iblis Pencabut Sukma segera memboyong tubuh Andjarsari ke dalam kamarnya yang terletak dipaling ujung gedung tingkat kedua.
Sepeminum teh telah lewat.
Wiro mengintai lagi dari balik gugusan batu pualam. Gedung masih tetap sunyi senyap. Dengan rasa tak sabar segera pemuda ini kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan laksana seekor alap-alap melesat ke atas atap gedung batu pualam tingkat kedua. Bagian atas gedung ini rata licin. Dan di sebelah sana beberapa tombak jauhnya, dua orang berjubah dan berkerudung merah tengah asyik bermain dam. Begitu sudut mata mereka melihat adanya bayangan sesosok tubuh di atas atap itu segera keduanya putar kepala.
“Hai!” seru salah seorang dari mereka. “Siapa kau ?!,” membentak yang kedua. Pendekar 212 melintangkan jari tetunjuk tangan kirinya di atas bibir. “Sssst…………. desisnya. Kemudian dengan tiba-tiba tangan kanannya dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua manusia berjubah merah itu rebah di atas atap dengan menyembur darah sedang papan serta buah dam mental di udara jauh sekali.
Pendekar 212 geli sendiri. Dia memandang berkeliling. Kemudian lapat-lapat dari ujung atas sebelah sana didengarnya suara jeritan perempuan. Dengan cepat pemuda ini lari ke ujung atap. Di bawah atap, persis di atas sebuah jendela terdapat beberapa buah lobang angin. Dari salah satu lobang angin ini Wiro mengintai ke dalam gedung! Dan mendidihlah darah Pendekar 212 sewaktu menyaksikan apa yang terpampang di dalam kamar di bawah atap itu. Andjarsari berada dalam keadaan hampir tak berpakaian. Rambutnya yang panjang kusut masai menjela-jela. Gadis ini megap-megap dan menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak kuasa sama sekali untuk menyingkirkan tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang menghimpitnya dari atas!
Tidak membuang waktu lagi Pendekar 212 melompat turun dan melabrak jendela kamar dengah satu tendangan kaki kiri. Kejut Wakil Ketua Perkumpulan Iblis itu bukan alang kepalang! Jendela kamar dilihatnya hancur berantakan dan sedetik kemudian sesosok tubuh melayang memasuki kamar! “Bangsat rendah!” memaki manusia bermuka angker itu. Secepat kilat dia melompat dari tempat tidur dan menyambar jubah merahnya. Dia tak sempat mengenakan kerudungnya karena pada saat itu Pendekar 212 sudah menyerang dengan ganas!
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma sambuti serangan lawan dengan jurus “menendang langit menjungkir awan”. Begitu hebatnya jurus ini sehingga Pendekar 212 terpaksa tahan kegeramannya untuk melanjutkan serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma untuk lari ke luar kamar!
“Jalan lari satu-satunya bagimu hanyalah ke neraka manusia durjana!,” bentak Pendekar 212 lalu memburu dengan sebat.
Wakil Ketua itu melarikan diri ke sebuah ruangan besar yang di setiap dindingnya terdapat lima buah pintu. Begitu injakkan kaki di ruangan ini dia segera berteriak. “Anggotaanggota Perkumpulan! Gedung ini kebobolan bahaya! Lekas ke luar!” Serentak dengan itu maka dua puluh pintu di empat dinding ruangan terbuka lebar dan melompatlah dua puluh anggota Perkumpulan. Kesemuanya berjubah dan berkerudung merah dan mencekal sebilah pedang merah!
Wakil Ketua Perkumpulan sendiri cabut sebuah rujung emas dari balik jubahnya. . “Cincang pemuda sedeng ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup dengan sambarkan rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa tombak maka angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah Pendekar 212. Hampir bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah berkiblat! Hanya sekejapan mata saja maka terbungkuslah Pendekar 212 dalam hujan pedang dan sambaran rujung!
Murid Eyang Sinto Gendeng ini menggerung dahsyat. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke lantai. Begitu jatuh di lantai dua tangannya dihantamkan nembentuk dua lingkaran. Dua lingkaran sinar putih panas yang menyilaukan mata menggelombang. Dimana-mana terdengar pekikan kematian. Lebih dari separoh anak buah komplotan Iblis Pencabut Sukma terkapar di lantai ruangan dengan tubuh hangus tersambar ilmu pukulan “sinar matahari” Pendekar 212! Melihat ini mereka yang masih hidup menjadi lumer nyalinya dan mulai pikir-pikir untuk undurkan diri. Namun tentu saja mereka juga takut pada pimpinan, terlebih lagi ketika. Wakil Ketua mereka membentak. “Ayo! Kalian tak perlu takut! Mari gempur lagi dengan jurus menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan!
Selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatakan jarang sekali Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mengeluarkan jurus “menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan” itu. Kecuali dalam menghadapi lawan yang benar-benar luar biasa tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Dan hari itu bila mereka mengeluarkan jurus yang dahsyat itu nyatalah bahwa lawan yang mereka hadapi benar-benar hebat! Dan memang begitu kenyataannya!
Pendekar 212 sendiri begitu dengar nama jurus ini tak ayal lagi segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Selama ini dia cuma pernah dengar dan mengetahui nama jurus yang terdiri dari empat untaian kata-kata. Kini lawan menyerangnya dengan jurus enam untaian katakata. Pastilah ini suatu jurus yang luar biasa! Maka begitu lawan menyerbu, Pendekar 212 sudah putar Kapak Maut Naga Geni 212- nya. Lolong kematianpun bergemalah untuk kedua kalinya di ruangan itu! Enam anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menggeletak mandi darah. Dua orang yang masih hidup, ditambah dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang saat itu masih memegangi rujung emasnya tapi yang sudah kuntung karena diterabas Kapak Pendekar 212, saling berikan isyarat. Dua anggota yang masih hidup ini melompati Wiro dan kirimkan empat serangan berantai sekaligus. Wakil Ketua mereka sendiri melompat kesebuah pintu dan menekan satu tombol rahasia!
Pada detik Pendekar 212 menerabas tubuh kedua lawannya dengan Kapak Maut, maka pada detik itu pula tiba-tiba lantai yang dipijaknya terbuka ke samping. Tak ampun lagi tubuhnyapun melayang jatuh ke dalam sebuah ruangan sedalam dua puluh tombak sedang lantai ruangan yang tadi membuka kini secara aneh tertutup oleh jalur-jalur besi sebesar lengan !
“Ha… ha… ha…!” Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa bekakakan. “Sekalipun kau punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki jangan harap kau bisa ke luar dari perangkap ini Pendekar 212!”
“Manusia sialan!” maka Pendekar 212 sangat geram dan penasaran. Dihantamkannya tangan kanannya ke atas. Sinar putih berkiblat. Lantai ruangan di atasnya hancur runtuh tapi jalur-jalur besi yang menutup lobang perangkap sedikitpun tidak berobah. Wakil Ketua Perkumpulan sendiri saat itu dengan cepat sudah menghindar ke samping kemudian dari balik jubahnya dia keluarkan sebuah lonceng kecil. Begitu lonceng dibunyikan maka muncullah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma diiringi oleh dua orang anggota klas satu yang berkepandaian sangat tinggi.
Menyaksikan kematian banyak sekali anak buahnva maka menggerenglah Ketua Perkumpulan ini. Mukanya yang tersembunyi dibalik kerudung mengkerut tegang, matanya berkilat-kilat. Dia melangkah kehadapan sang Wakil. “Sesudah seluruh anggota mampus begini rupa baru kau bunyikan lonceng memanggil aku? Bagus betul perbuatanmu!” Gemetarlah lutut Wakil Ketua mendengar bentakan atasannya itu. “Tapi Ketua, manusia itu sakti luar biasa. Namun demikian aku telah berhasil meringkusnya! Lihatlah ke bawah sana!”
“Keberhasilanmu tetap tidak dapat menghindari hukuman yang bakal kau terima kelak!” desis Ketua Perkumpulan. Dia melangkah ke tepi perangkap. Namun secepat kilat bersurut mundur karena dari dasar perangkap menggebu segumpal angin dahsyat. Atap gedung batu pualam yang tadi telah hancur dilanda pukulan sinar matahari kini kembali berpelantingan!
“Kurang ajar!,” bentak Ketua Perkumpulan. Tangan kanannya dipukulkan ke dasar perangkap. Dan menderulati lima lusin jarum merah! Tapi lagi-lagi Ketua Perkumpulan ini dikejutkan ketika angin sedahsyat badai membuat jarum-jarum beracunnya itu menderu kembali ke atas! Jika tidak lekas pula dia menghindar dari tepi perangkap pastilah senjata makan tuan!
“Budak hina dina! Kau boleh keluarkan seribu ilmu tapi jangan harap kau bakal ke luar hidup-hidup dari dalam perangkap ini!” Habis berkata begitu dengan ibu jari kaki kanannya Ketua Perkumpulan IbIis Pencabut Sukma menginjak sebuah tombol di salah satu sudut perangkap sebelah atas! Di dasar perangkap, secara aneh dinding terangkat kira-kira sejengkal dan laksana air bah dari keempat celah dinding itu berserabutanlah ratusan binatang berbisa seperti ular, kelabang, lipan dan kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang Pendekar 212! Murid Eyang Sinto Gendeng melompat dua tombak. Begitu tubuhnya mengapung di udara tangan kirinya segera mengambil batu api 212 dari balik pinggang. Sekali batu api dan Kapak Naga Geni 212 diadu maka lidah apipun menderulah ke lantai perangkap. Seluruh binatang berbisa itu tak satupun yang hidup. Semuanya terbakar musnah dengan mengeluarkan
bau yang tak nyaman dan memegapkan jalan nafas.
Pendekar 212 tidak menunggu lebih lama. Jika di luar dengan ilmu mengentengi tubuh dia bisa melompat sampai tiga puluhan tombak lebih, mengapa di dalam perangkap yang Cuma sedalam dua puluh tombak itu dia tak bisa? Cuma yang dikhawatirkannya ialah jika dia tak dapat menerobos atau menghancurkan jalur-jalur besi di atas perangkap itu dengan Kapak Maut Naga Geni 212-nya !
Di atas sana tiba-tiba dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma kembali mendekati tepi perangkap. Pendekar 212 segera hantamkan tangan ke atas mengirim pukulan matahari dan serentak dengan itu dia melompat ke udara. Kapak Naga Geni 212 diputar dengan sebat!
“Trang… trang… trang…!”
Ternyata Kapak Naga Geni 212 mampu menghancurkan jalur-jalur besi penutup perangkap. Pendekar 212 tertawa gembira dan berdiri dengan berkacak tangan kiri dipinggang sementara empat lawannya di ruangan itu diam-diam menjadi ngeri melihat kehebatan pemuda ini!
Dari kerudung dan jubahnya yang lebih merah laksana darah. Pendekar 212 segera mengenali yang mana adanya Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Maka berkatalah pemuda ini dengan membentak. “Lekas serahkan Keris Tumbal Wilajuda. Dan jika kalian berjanji untuk kembali ke jalan yang benar niscaya aku masih mau memberi ampun!” Ketua Perkumpulan tertawa mendengus. “Usia masih seumur jagung, tubuh masih bau amisnya orok, mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah berani bicara membentak dan memerintah dihadapanku!”
“Ucapanmu tidak lucu Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas kata kau mau serahkan Keris Tumbal Wilajuda atau tidak?!”
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat tangannya ke udara. Gerakannya ini diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya. “Baik!,” katanya, “aku akan serahkan Keris Tumbal Wilajuda padamu, tapi serahkan dulu
kau punya jiwa!” Habis berkata demikian maka empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan
yang sangat diandalkan oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!
Dalam keadaan lengah seperti di Goa Dewi Kerudung Biru tempo hari mungkin empat pukulan sakti itu akan menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi kali ini keadaan berlainan, apalagi saat itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga Geni 212 ditangan! Begitu empat angin maut membetot ke arah badannya maka Pendekar 212 berseru
nyaring! Tubuhnya lenyap! Menyusul suara siulan melengking dan Kapak Maut Naga Geni 212 membuat putaran putih yang sebat sekali, angin yang ke luar dari Kapak sakti itu melanda hebat tarikan angin maut keempat musuh. Dan setengah jurus kemudian dua anggota klas satu Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma sama menjerit keras! Tubuh mereka rebah ke lantai. Yang satu berbusaian isi perutnya, yang satu lagi hampir putus batang lehernya !
Ketua dan Wakil Perkumpulan terkutuk sama-sama tersurut! “Apa kau masih belum mau serahkan apa yang kuminta?!” bentak Pendekar 212.
“Aku bilang serahkan nyawamu lebih dulu, budak hina!” balas membentak Ketua Iblis.
“Manusia tolol, dikasih ampun malah minta mampus!” Gusar sekali Pendekar 212 jadinya. Tubuhnya berkelebat untuk kesekian kalinya. Kali ini dalam jurus “membuka jendela memanah rembulan”. Kapak Naga Geni mula-mula menderu sebat ke samping. Dan terdengarlah jerit kematian Wakit Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Ketua Perkumpulan tersirap dan melompat mundur ketika melihat Wakilnya terhuyung-huyung dengan dada mandi darah lalu jatuh duduk di lantai! Namun Pendekar 212 betul-betul tidak mau memberikan kesempatan lagi. Kapaknya terus menyelesaikan jurus yang dibuat dan kini membabat deras ke udara!
Ketua Perkumpulan terkutuk itu melolong setinggi langit! Dagunya terbabat putus berikut sebagian kerudungnya sekaligus! Tubuhnya terbanting ke dinding! Ketika Kapak Maut Naga Geni hendak membalik lagi guna menamatkan riwayat Ketua Perkumpulan durjana itu maka tahu-tahu melesatlah sesosok tubuh manusia dan terdengar satu seruan.
“Bangsat yang satu ini adalah bagianku, Wiro!”.
***
ENAM BELAS
PENDEKAR 212 berpaling yang datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini ! “Ah, kau rupanya Anggini. Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa anjing manusia terkutuk ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”
Ketika Pendekar 212 bicara ini, Ketua Perkumpulan Iblis pergunakan kesempatan untuk menghambur ke pintu. Tapi secepat kilat Wiro angsurkan kaki kirinya menyerimpung pergelangan salah satu kaki Ketua Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun lagi tubuhnya tersungkur ke lantai!
“Cepat bangun, manusia iblis agar cepat pula kuantarkan kau punya nyawa menghadap penjaga neraka!,” bentak Dewi Kerudung Biru! Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berdiri. Tiba-tiba dia hantamkan satu pukulan ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi tenaga pukulannya ini sudah banyak berkurang akibat luka didagunya yang mengandung bisa dan bisa mana mulai menjalar kesegenap pembuluh darahnya!
Melihat lawan memukul, Dewi Kerudung Biru berkelit cepat dan kirimkan serangan balasan yaitu jurus naga kepala seribu mengamuk! Terkejutlah Ketua Perkumpulan Iblis melihat jurus yang dahsyat ini. Dia melompat mundur tiga tombak dan berseru. “Dewi Kerudung Biru, antara kau dan aku tiada permusuhan, mengapa kita musti bertempur begini rupa?!”
Dewi Kerudung Biru tertawa dingin sedingin salju. “Kau lupa pada seorang gadis yang hendak kau perkosa beberapa bulan yang lalu?!” Dewi Kerudung Biru membuka kerudung penutup wajahnya! “Apa kau masih lupa dan tidak kenali aku?!”
Terkejutlah Ketua Iblis Pencabut Sukma melihat paras gadis dihadapannya. Namun rasa terkejutnya ini tiada lama. Anggini kembali menyerbu. Kali ini dalam jurus “cakar garuda emas”. Kedua tangannya terpentang.
“Breet!” Kuku-kuku yang panjang dari gadis itu menyambar dada sang Ketua. Dan tidak sampai di sana saja, Anggini buka mulutnya lebar-lebar.
“Huaah!”
Menyemburlah asap kencana biru ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Manusia ini menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Ketika dia rebah ke lantai maka sekujur badannya menjadi sangat biru! Tamatlah riwayat manusia yang paling terkutuk dan ganas itu. Belum puas sampai di situ, Anggini maju mendekati mayat laki-laki itu lantas menendang kepalanya. Tubuh Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mencelat enam tombak kepalanya hancur!
“Kau hebat sekali, Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat Ketua Iblis Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan Keris Tumbal Wilajuda!
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya Wiro?,” bertanya Dewi Kerudung Biru atau Anggini.
Pendekar 212 merenung beberapa lamanya lalu menjawab. “Setelah Keris Tumbal kerajaan ini berhasil diketemukan, kurasa ada baiknya aku segera menemui Sultan Banten”.
“Mengapa begitu?,” tanya Anggini. “Bukankahkau sendiri sudah tahu bahwa Sultan Hasanuddin pergi ke Demak untuk meminta bantuan balatentara dari Sultan Trenggono guna mengusir kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten?”
“Betul, namun saat ini aku ada rencana baru. Rencanaku ini akan sangat banyak mengurangi korban-korban yang tiada berdosa…..”
“Aku tak mengerti maksudmu,” kata Anggini pula.
Pendekar 212 tersenyum. “Kau akan mengerti setelah menyaksikannya sendiri nanti. Sementara aku menyusul Sultan ke Demak, kuharap kau sudi pergi keperbatasan dan menunggu kedatangan kami di sana…”
Bagi Anggini adalah lebih disukainya bila dia bisa ikut bersama-sama dengan pemuda itu. Namun setelah berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala.
“Sampai jumpa Anggini,” kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu.
Anggini meremas seketika jari-jari si pemuda dan sebelum tubuhnya lebih dijalari gelora darah muda maka Pendekar 212 segera meninggalkan tempat itu.
Meskipun satu hari terlambat namun dengan ilmu larinya yang sangat lihai, Wiro berhasil mendahului Sultan. Hasanuddin yang berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor kuda.
Wiro menunggu kedatangan Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu saja Sultan Hasanuddin sangat terkejut dan heran bertemu dengan pemuda sahabatnya itu.
“Sahabat, bagaimana kau tahu-tahu sudah muncul di sini?” tanya Sultan seraya turun dari kuda. Dengan ringkas Wiro Sableng segera berikan keterangan. Selesai memberikan keterangan maka dikeluarkannyalah Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada Sultan.
Berseri-serilah paras Sultan Hasanuddin. “Sahabat jasamu sungguh tak dapat diukur dengan luasnya laut, dengan tingginya gunung. Aku berterima kasih betul kepadamu…”
Wiro memotong ucapan Sultan dengan berkata. “Sultan sebelum memasuki kota dan menemui Sultan Trenggono perkenankanlah aku memberikan sedikit rencana….”
“Boleh saja. Silahkan” kata Sultan seraya sisipkan Keris Tumbal Wilajuda dibalik pinggang pakaian. “Dengan membawa balatentra Demak ke Banten berarti akan pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di Banten. Sultan tentu lebih tahu dariku bahwa akibat peperangan yang paling buruk ialah jatuhnya beban penderitaan, serta
kesengsaraan dipundaknya rakyat jelata….”
“Betul, dalam hal ini aku memang sedapat-dapatnya berusaha agar penduduk jangan sampai banyak yang jatuh korban,” kata Sultan pula.
Wiro mengangguk. “Di samping itu, sebagian besar dari prajurit-prajurit pemberontak tiada lain hanya merupakan alat mati yang bisa dikutak kutik oleh atasan! Di hati kecil mereka sendiri mungkin tak ingin melakukan pertumpahan darah itu. Tapi demi tugas dari atasan, mereka terpaksa melakukan peperangan yang kejam itu. Jadi letak tanggung jawab, atau biang racun dari segala kemusnihan dan penderitaan itu tiada lain terletak di tangan pentolan-pentolan tinggi pemberontak! Nah, manusia-manusia inilah yang harus kita lenyapkan lebih dulu…. yang dibawah soal mudah..Apalagi dua bergundalnya pembantu Parit Wulung yaitu Resi Singo Ireng serta Macan Seta telah menemui ajal!”
“Apa yang kau katakan itu semua adalah benar sobat,” kata Sultan. “Tapi aku masih belum melihat bagaimana caramu yang tepat dan baik dalam merebut kembali takhta kerajaan dengan menghindarkan pertumpahan darah….”
“Kalau Sultan bisa memberikan sedikit kepercayaan kepadaku, pastilah aku akan bersedia melaksanakannya… Maka Pendekar 212-pun menuturkan rencananya selengkapnya.
***
TUJUH BELAS
MALAM itu di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang tokoh terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai dari Matjan Seta yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin anggota partai lainnya sengaja diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat kedudukannya dan menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun coreng moreng.
Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara. “Saudara-saudara pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan Keris Tumbal Wilajuda. Sampai sekarang kita masih belum berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo Ireng dan Resi Matjan Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…”
Parit Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia disudut ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak.
“Saudara-saudara bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya mendengarkan perundingan kita ini di atas loteng!”
Dan baru saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua kakinya sama sekali tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai!
Rana Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri berdiri dari kursi dan membentak.
“Manusia atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!”
Tamu tak diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya.
“Kau terlalu menghina padaku, Parit Wulung,” menyahuti Pendekar 212. Dia melirik sedikit ketika melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang melintang.
“Lekas katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!,” kata Tikusila seraya angkat tinggitinggi tangan kanannya yang memegang pedang.
“Aku adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!”.
Maka terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar 212 keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak, dihadapan Parit Wulung.
“Silahkan baca,” kata Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap yang merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga.
Parit Wulung,
Aku berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama bergundal-bergundal pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu untuk menduduki takhta kerajaan Banten secara tidak syah di atas lumuran darah sekian banyak rakyat dan prajurit Banten serta sekian banyak pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan sia-sia saja ! ,
Keris Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua cecunguk pembantumu yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah menemui ajalnya.
Jika kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat. Tapi bila kalian membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau bagaimanapun yang bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan tak akan bisa mengalahkan, kebenaran !
Ingat, waktumu cuma sampai malam ini !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Mengelam wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara tertawanya bergelak. Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu.
Wiro sendiri mengerendeng dalam hatinya. “Kau utusan Sultan yang tampangmu macam orang hutan!” kata Rana Tikusila, “aku mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai berani membuat surat ancaman macam begini rupa?!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Kau keliwat menghina sobat!” katanya. “Coba lihat ke kaca besar di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih buruk dari padaku! Kurasa kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!”
Maka marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini.
“Sret,” dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu pedang Partai Api Setan dan dinamakan jurus “anak panah menembus rembulan!” Selama menghadapi lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka biasanya tak akan mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang dinamakan “gendewa menyambar puncak gunung”.
Tapi hari itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan juga malu pada kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul dengan jurus “gendewa menyambar puncak gunung”. Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang lawan! Namun nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang sukar dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara, Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada di tangan Pendekar 212!
Mata Parit Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!
“Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan surat Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga apakah. kalian sudi menyerah atau tidak?!”
Parit Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobek-robeknya. “Ini jawaban kami!” kata Parit Wulung pula serta melemparkan robekan surat ke muka Wiro Sableng. Pendekar muda ini, tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai.
“Besok pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini…..”
“Saudara-saudara, tangkap manusia yang satu ini!”. Parit Wulung beri perintah.
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya ke lampu besar yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro melompat ke atas loteng, lenyap dikegelapan malam.
Ketika pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas manusia yang sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan pada kening masing-masing tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka 212 !
Kelima belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan pemberontak dari Pajajaran! Pada masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang bertuliskan:
Kepada kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah.
Tapi kalian sengaja memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa kebathilan akan selalu hancur oleh yang hak.
Kepada para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada Sultan, hari ini adalah hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum pemberontak !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Di balik kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh dan menggantung kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening mayat-mayat. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak diperbatasan tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar ditandatangani olehnya?
Kalau betul masih hidup di mana dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng serta Matjan Seta yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan sudah muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?!
Di dalam suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas dari kaum pernberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian besar balatentara Banten yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan untuk bebas maka menjadilah satu tekat bulat untuk angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak syah itu. Lagi pula satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian. Singo Ireng dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma tinggal nama saja!
Sementara itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu, sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat salju. Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi pembantu-pembantu utamanya demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang datang malam tadi! Dalam kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar lima belas mayat yang digantung itu diturunkan!
Bila dia berhasil menguasai dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa kelompok pasukan untuk melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang masih setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam senjata sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat atas sanak saudara dan karib kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya !
Dan pada saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh manusia dari wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang kedua seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan sendiri! Maka semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah!
Parit Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat puluh rakyat jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju pula ke tengah gelanggang, maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah pembantu-pembantu utama Parit Wulung! Manusia pengkhianat besar ini dengan putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang ke kepalanya. Tapi Pendekar 212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung Biru kemudian meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya!
Di mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara- gegap gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan mengelukelukan Sultan Hasanuddin. Kemudian diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak. “Gantung Parit Wulung!”
“Cincang tubuhnya sampai lumat!”
“Hukum picis pengkhianat itu !”
“Bakar saja hidup-hidup!” teriak kelompok yang lain!
Sementara itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri dihadapan Sultan.
“Sultan kami rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri….”
Sultan terkejut. “Tidak bisa!,” kata Sultan setengah berteriak. “Kalian berdua musti tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap Pengawal Pribadiku, Wiro!”.
Wiro dan Anggini tersenyum. “Hatimu mulia sekali Sultan,” sahut Pendekar 212. “Tapi kami berdua adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan berjumpa dan berkumpul lagi…”
Sultan merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu. “Kalian berdua telah berjasa besar terhadap Kerajaan dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan rakyat….”
“Ah, jangan…. tak usah Sultan” kata Anggini dan Wiro pula.
Sultan mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah berlian besar di tengahnya. “Anggini,” kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru, “benda ini adalah bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah berjasa pada Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja dan rakyat Banten. Terimalah….”
“Sultan… mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti menerima bintang penghargaan begitu rupa….?”
“Terimalah Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan….”
Dengan malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu. “Andjarsari, bagaimana Andjarsari …… ?”
“Dirinya tak perlu dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi Kerudung Biru. “Saat ini dia masih berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa. Seorang pengemudi kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk menjemputnya….”
“Ah, jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul berterima kasih…”
Pendekar 212 tersenyum. “Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap ditanganNya…….”
Sultan manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda. Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan darah. “Kuharap kalian berdua juga suka menggores telapak tangan masing-masing…”
Anggini dan Wiro saling pandang. “Untuk apa kah Sultan?” tanya Wiro pula.
“Gores sajalah,” desak Sultan. Kedua orang itu kemudian sama menggores telapak tangan masing-masing. Wiro
menggores telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan eratrat telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat membendung lagi perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten ini.
“Saudara-saudaraku para prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian, aku mengangkat saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita sekalian….”
“Sultan!” seru Pendekar 212. “Kami .ini hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana au sudi mengangkat saudara…”
Sultan tersenyum. “Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata Tuhan….?!” Dan Sultan berseru lagi. “Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan yang berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !” `
Maka untuk kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur, maka berserilah parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta. Kereta yang membawa Andjarsari, calon permaisurinya.
T A M A T
Leave a Reply