Migran atau Refugee (Pengungsi)** atau Pencari Suaka? Perdebatan tentang terminologi ini masih saja berlangsung dan media dalam memberitakan juga masih menggunakan pilihan terminologinya sendiri. Puluhan bahkan ratusan ribu orang memenuhi FYROM (Macedonia) kemudian menuju Hungaria dengan tujuan akhir Jerman. Sementara itu di negara-negara yang terletak di sepanjang laut mediterania (Italia, Yunani) juga tidak kalah kebanjiran puluhan ribu orang yang meninggalkan negara asal mereka karena konflik yang tidak berkesudahan. Umumnya mereka berasal dari negara-negara Afrika diantaranya Libya, Somalia, Sudan dan juga Timur tengah seperti Irak, Syria, Afghanistan. Selain itu tujuan lain mereka juga Australia, dan pemerintah Australia juga menerapkan kebijakan yang lebih ketat dan lebih keras. Indonesia merupakan salah satu jalur transitnya. Mereka umumnya menjual semua yang mereka punya dan membayar kepada “calo” yang menjanjikan mereka akan diantar ke negara tujuan. para calo ini banyak juga yang merupakan bagian dari sindikat perdagangan manusia (human trafficker)
Saat ini pemimpin Uni Eropa masih berdebat tentang bagaimana mengatasi hal ini. Pendapat pun terbelah antara long term solution dimana salah satunya menurut PM Inggris David Cameron bisa diselesaikan kalau perdamaian bisa diciptakan di negara-negara yang saat ini sedang mengalami konflik serta menangani pelaku “human trafficker” . Di pihak lain banyak yang menyerukan untuk mencari short term solution yaitu bagaimana mengatasi mereka yang sudah masuk di daratan Eropa sementara kondisi negara-negara Eropa masih berkutat dengan krisisnya. Beberapa kota di Eropa bahkan menunjukkan Xenophobia dengan menyatakan penolakan mereka pada pelintas batas ini.
Mungkin mereka dalam dilema, mana yang lebih prioritas diselamatkan kondisi ekonomi dan warga negara sendiri atau nyawa para pelintas batas ini? Tak bisa dipungkiri juga banyak pelintas batas ini yang mencoba memasuki negara yang lebih mapan karena faktor ekonomi (economic migrant). Dengan munculnya berbagai konflik senjata di timur tengah, Asia, dan Afrika tentu saja akan menjadi sangat sulit untuk membedakan mana yang refugees dan economic migrant.
Berbagai organisasi internasional seperti Save the Children, IRC, IOM juga agensi PBB, UNHCR, UNICEF menyerukan dunia untuk memperhatikan nasib orang-orang ini, namun beberapa pemimpin Eropa sampai hari ini pun masih belum bergeming. Baru Jerman dan kemudian Austria yang menyatakan bersedia menampung mereka, itu pun mereka masih meminta negara-negara lain untuk berbagi kuota yang beberapa diantaranya menolak usulan ini.
Tayangan sosok Aylan Kurdi di pantai Bodrum, Turki, seorang bocah cilik dari Kobane, Suriah yang tewas tenggelam menghiasi banyak pemberitaan dan menjadi viral di media sosial. Tayangan ini mengaduk perasaan banyak orang di dunia. Sang Ayah, Abdullah Kurdi, akhirnya berniat kembali ke kota asalnya di Suriah karena dia kehilangan alasan lagi untuk pindah ke kanada. Ia kehilangan dua anak balitanya (Aylan dan Galip) serta istrinya (Rehan) saat perahu karet yang mereka tumpangi ditinggalkan oleh kru dan terbalik diterjang ombak laut mediterania. Sesudah tayangan ini simpati pun bermunculan dan para pemimpin negara di eropa bahkan Kanada juga dalam tekanan publik. Walaupun demikian masih saja ada pihak yang mencoba mencari kesalahan orang lain, ada yang menyalahkan Ayah Aylan karena membawa keluarganya naik perahu karet, kenapa tidak membawa pelampung dan lain sebagainya. Kemanakah rasa kemanusiaan itu pergi?
Banyak kartunis dunia pun membuat gambar tentang hal ini, diantaranya yang dibuat oleh seorang kartunis dari Sudan yang tinggal di Doha, Khalid Albaih.
“I know what will make the father take such an extreme measures to try to get his family to safety. I had tears in my eyes. Only a parent would understand – Khalid Albaih”
Sebelumnya berbagai tayangan gambar tentang pengungsi Suria dan lainnya baik itu anak-anak maupun orang dewasa juga marak mengisi sosial media. Namun tayangan itu seakan sepi saja dari perhatian publik. Di Suriah saja sudah lebih dari 12.000 anak-anak terbunuh akibat perang saudara disana, UNICEF pun memiliki data hampir 2 juta orang hidup sebagai pengungsi. Mengapa saat gambar Aylan Kurdi banyak di tayangkan efeknya begitu besar, baru kemudian banyak orang yang simpati dan tergerak hatinya?
Bagi saya pribadi, gambaran anak kecil dengan pakaian yang lengkap dan seperti bermain di pantai mengingatkan saya akan keluarga kecil kami dimana anak-anak begitu senang berada di pantai bermain air dan pasir. Akan tetapi saat tubuh mungil Aylan terhanyut ombak dan tidak ada reaksi apapun hal ini yang membuat saya tersadar dan bayangan piknik di pantai dengan anak-anak buyar. Pantai seharusnya menjadi tempat rekreasi keluarga, yang membawa kegembiraan bukan kesedihan.
Mungkin hal ini juga yang terjadi pada banyak orang di dunia, dimana tayangan gambar Aylan menyadarkan mereka bahwa hal ini bisa saja terjadi di depan halaman kita. Rasa simpati pun berhamburan tak ingin apa yang menimpa Aylan menimpa keluarga mereka.
Semoga saja para pemimpin dunia diberikan pencerahan tidak hanya berdebat tetapi bertindak cepat untuk mengatasi masalah migrasi ini. Semoga tidak akan ada Aylan Kurdi yang lain dan masyaraat dunia terketuk rasa kemanusiaannya. Aylan sudah dimakamkan di Kobani, Suriah bersama kakaknya Galip dan ibu mereka Rehan. Sang Ayah pun tidak mau lagi pergi keluar dari negara dan kota mereka yang hancur akibat konflik. Kau sudah tenang di surga nak, bertemu dengan Sang Khalik tanpa perlu takut lagi dengan perang, naik perahu dan lainnya.
Untuk rekan-rekan yang ingin membantu, ada banyak lembaga kemanusiaan baik dalam badan PBB maupun organisasi lain seperti UNICEF, IRC, UNHCR, Save the Children. Silahkan cek website mereka untuk mencari tahu bagaimana bisa membantu.
************************
Gao, Mali -September 2015
**Dalam istilah internasional dibedakan antara refugee dan IDP (Internally Displaced Person), refugee adalah mereka yang ketakutan akan dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, berada di luar negara kebangsaannya, dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut, tidak bersedia untuk berada dalam perlindungan negaranya (Konvensi Refugee, 1951). Sedangkan IDPs adalah merekaterpaksa pergi dari tempat tinggalnya tetapi masih dalam batas internal negara walaupun alasan mereka bermigrasi sama dengan refugees. IDP masih dalam proteksi pemerintah negaranya walaupun tak jarang pulang pemerintah yang menjadi alasan mereka meninggalkan tempat asalnya. Dalam bahasa Indonesia refugee adalah “pengungsi lintas negara” sedangkan IDP adalah pengungsi internal tetapi kata “lintas negara” dan internal seringkali tidak digunakan jadi lebih dikenal masyarakat sebagai “Pengungsi”
Leave a Reply