My notes – COVID19 Psikologi Panik Belanja
Sewaktu kuliah dulu & awal2 meniti karir saya mendalami bidang psikologi perilaku konsumen. Bahkan skripsi saya waktu itu meneliti tentang keputusan membeli-menjual saham dengan simulasi pasar modal untuk melihat apakah pembelian yg dilakukan rasional atau tidak. Simulasi dilakukan dg menginjeksi berita (informasi dari sumber terpercaya) maupun rumor (informasi dari sumber tidak terpercaya) baik positif maupun negatif kemudian dilihat bagaimana perilaku pemain saham untuk memutuskan membeli atau menjual saham yg dimiliki. Salah satu hasil penelitian saya “informasi dari sumber yang kurang dipercaya memberikan pengaruh yang sama bahkan lebih besar dari sumber yang lebih dipercayai (Rumor dibanding dengan berita)-priharmoko, 2000”.
Terkait dg situasi terkini tentang COVID19 di Indonesia tentu kita bisa melihat banyaknya informasi dari sumber yang tidak jelas kemudian dengan mudahnya beredar dan dipercaya oleh masyarakat. Sebaliknya informasi dari sumber yang resmi, berdasarkan bukti atau dari pihak otoritas malah dianggap angin lalu. Salah satu yang situasi terkini yang jelas dipengaruhi oleh informasi baik resmi maupun dari sumber abal2, terlihat adanya “panik belanja”. Dengan cepat stok masker, hand sanitizer, dan bahan pokok lain menghilang. Negara kita tidak sendiri kok yang mengalami ini, negara lain sudah duluan dan atau sedang mengalami hal yang sama tidak peduli itu negara maju dengan rakyat lebih terpelajar atau tidak. Contohnya saja di Australia orang sampai baku hantam untuk urusan tissue toilet. Di Singapura stok mi instan dan beras diserbu saat diumumkan status oranye di sana. Di Amerika, sekarang sedang terjadi, semua orang ingin menimbun. Seiring dengan kenaikan jumlah kasus positif, kecemasan, ketakutan kita juga meningkat.
Pertanyaannya kenapa situasi ini menyebabkan kita melakukan panik belanja?
Seperti status saya sebelumnya, semuanya normal dalam sudut pandang psikologi karena situasi ini dipersepsi dapat mengancam hidup kita dan reaksi yang ada adalah untuk survival. Kita selalu diajarkan untuk mengambil keputusan secara rasional, tetapi kenyataannya tidak begitu. Kalau mengikuti cara rasional tentu informasi dipilah-pilah dulu dianalisa baru diambil keputusan/tindakan. Kenyataannya manusia dalam menambil keputusan cenderung menggunakan “jalan pintas” (heuristic) agar bisa dengan cepat merespon, bereaksi dan dalam hal ini untuk bertahan hidup.
Tentu banyak dari kita sudah tahu istilah fight or flight. Nah dalam kondisi mental ‘fight or flight’ juga karena informasi yg seliweran makin sering dan kadang ‘menyeramkan’, pikiran kita gak sanggup mengolah secara rasional dan pikiran kita kemudian berasumsi situasi yg terjadi lebih parah dari kenyataan. ‘kita gak sanggup lagi berpikir kemudian berasumsi pasti kita akan tertular dan sakit, kalau sakit bisa parah dan mati, kalau mati tidak ada yg mengurus dan seterusnya.
Kalau sudah dalam situasi ini ada sebuah bias dalam pemikiran yg disebut “availability heuristic” mulai bermain-main. Makin banyak kita terpapar berita atau infor tertentu, makin mungkin kita berpikir kita ada dalam situasi yg diberitakan. Karena makin sering mendengar berita orang sakit atau positif, maka kita percaya kita juga akan tertular dan sakit dan lama kelamaan perilaku kita menjadi semakin otomatis.
Terus kenapa tissue toilet, kenapa mie instan kenapa masker, hand sanitizer gula dan sebagainya. Karena kita menganggap itu semua adalah kebutuhan dasar (basic). Pada situasi normal dimana ketersediaan barang pokok ini aman, kita tidak terlalu perhatian, tetapi begitu ada situasi yg kita persepsikan sebagai bahaya, mengancam langsung kita terjun bebas ke hirarki kebutuhan Maslow yang paling bawah. Lah kok maslow lagi yg dipake..:)
Apa sih yang mempengaruhi panik belanja?
Ada beberapa penyebab psikologis yang bisa mempengaruhi; yang pertama kesadaran seseorang mungkin tidak akan bisa menghindar dari kematian (Mortality salience). Penyebaran virus begitu cepat, penurunan kesehatan terjadi dalam waktu cepat menyebabkan kematian dan belum ada obatnya. Kalau orang diingatkan akan kematian, perilakunya akan cenderung impulsif kemudian menyebabkan pembelanjaan berlebihan. Ingat film the bucket list? Itu sudah contohnya
Ada lagi tentang seperti dijelaskan dengan teori “social proof”, situasi dimana seseorang tidak tahu harus melakukan apa utk sebuah situasi tertentu, dia akan melihat orang lain dan meniru perilkunya dan juga dengan meniru ini dia bisa mendapat petunjuk/arahan bagaimana berperilaku. Jadi misalnya ada teman atau orang lain khawatir tentang sesuatu, muncul kebutuhan utk khawatir juga dalam diri kita kemudian kita perlu bertindak yang sama saat kita lihat orang lain bertindak.
Apa yang harus kita lakukan?
Pada dasarnya sederhana saja, turunkan tingkat kecemasan kita. Bagaimana caranya?
Coba puasa lihat berita, atau hanya melihat informasi atau berita dari sumber terpercaya atau resmi. Informasi memang berguna tapi jangan sampai terlalu banyak informasi membunuh kita atau istilah kerennya infodemic.
Mogadishu, 16 Maret 2020
Leave a Reply