Kota Addis Ababa boleh dibilang cukup menarik, konturnya ada yang di bukit ada juga di bagian yang lebih rendah. Terlihat konstruksi modern bercampur dengan bangunan antik, jalan konstruksi beton dengan jalan tanah, kendaraan-kendaraan modern dan kendaraan jadul ditambah lagi dengan masyarakatnya. Ini yang membuat Addis Ababa sangat menarik.
UNECA
Pertemuan stress counselor PBB kali ini dipusatkan di UNECA. Awalnya saya pikir UNECA ini semacam fasilitas koordinasi UN yang kecil dan tidak terlalu besar, tetapi ternyata UNECA merupakan pusat Komisi Ekonomi UN untuk Afrika, sehingga compound UNECA setara dengan Markas besar PBB (UN HQ). Addis Ababa juga merupakan tempat Markas besarnya Uni Afrika (African Union HQ). Jadi Organisasi dunia dan Organisasi regional lebih memilih Addis Ababa dibanding kota-kota besar di Afrika lainnya sebagai rumahnya misalnya Nairobi, Johanesburg dan lainnya. Dalam ulasannya lonely planet menyebut Addis Ababa sebagai Diplomatic capital of Africa.
Nah selain acara formal di UNECA dan beberapa undangan dengan kedutaan, kami pun mencoba untuk beradaptasi dan menikmati kunjungan kali ini ke Addis Ababa. Beberapa orang konselor cukup nekad dan nakal mulai mencoba-coba untuk melihat-lihat kota dan mengunjungi beberapa tempat di Addis Ababa. Awalnya yang dekat-dekat saja dari hotel dan UNECA soalnya jadwal kami cukup padat untuk training dan meeting dan biasanya selesai sekitar jam 6 sore. Masuk ke hari 4 dan 5 dan 6 mulailah ada waktu senggang dan ini yang kami pakai.
Sesuai anjuran UNDSS, kami tidak dianjurkan untuk menggunakan public transportation (kami pun males sesudah melihat kondisi bus yang digunakan). Untuk taksi disarankan menggunakan taksi biru dan minta petugas hotel untuk memanggil dan mereka juga mencatat nomer taksi dan HP si supirnya untuk berjaga-jaga. tapi dasarnya anak badung, makin dilarang makin dilakukan :).
Merkato
Pada hari ke 4, panitia mengorganisir kunjungan ke pasar setempat untuk membeli souvenir dan sebagainya. Ada sebuah bus 3/4 dan 2 buah van. Saat menginjakkan kaki di Merkato ingatan saya melayang terjebak macet seputaran pasar leuwiliang atau di daerah cibinong. Kios-kios menjual macam-macam barang, mulai dari kelontong kebutuhan sehari-hari, ada yang menjual bahan bangunan, souvenir juga tempat ngetem angkot. Harga disini selalu harus tawar menawar dan seringkali bahasa Tarzan jadi andalan. Sebenarnya belanja disini cukup banyak pilihan, cuma yang gak enak banyak sekali pengemis yang meminta uang dan selalu mengikuti kita kemanapun kita pergi termasuk menunggui saat kita masuk ke dalam kios. Akhirnya sesudah debat sana sini, beberapa orang punya ide untuk pergi ke sebuah gallery seni St. George. Kami berhasil membujuk seorang supir van ini untuk mengantar kita ke St. George Gallery dan sesudahnya kami berencana mengunjungi beberapa tempat lain.
St. George Gallery (St. George Interior Decoration and Art Gallery)
Gallery ini terletak Taitu Street dan bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Sheraton hotel. Di dekat St. George Gallery ini juga terdapat sebuah masjid Tofic Mosque dengan bangunan yang cukup tua. St. George Gallery ini merupakan rumah tua yang cukup terawat, di halamannya terdapat pohon besar yang cukup rindang. Saat masuk ke dalam, terlihat berbagai koleksi mulai dari lukisan, kain, keramik, perhiasan yang kalau dibandingkan kualitasnya dengan apa yang ada di Merkato bagaikan bumi dan langit. Kualitas barang yang dijual sangat bagus dan tidak pasaran sesuai namanya. Jika kita lihat harganya tidak ada barang yang dijual kurang dari USD 100. St. George ini sering dikunjungi orang terkenal salah satunya adalah Bill Clinton (fotonya terpampang di gallery tersebut). Boleh dibilang kalau ingin mencari souvenir khas Ethiopia untuk orang yang special disinilah tempatnya. Konon, gallery ini di kelola dua perempuan bersaudara dan sister gallery nya ada di virginia, Amerika.
Sayangnya si supir van yang mengantar kita ditelpon dan dimarahi oleh panitia. Ia pun diminta untuk mengantar kami pulang untuk bergabung dengan rombongan. Karena kami berencana untuk keliling kota kami bujuk lagi si supir dan berhasil membujuk dia untuk menurunkan sebagian yang mau jalan-jalan di sebuah tempat taksi mangkal. Ada 11 orang yang ingin lanjut jalan-jalan (3 laki-laki dan 8 perempuan). Tawar menawar pun alot dan untungnya ada seorang rekan dari Nigeria yang bisa menawar akhirnya kita membayar 300 Birr untuk mengantar kita ke satu tempat dan kembali ke hotel. Mulailah petualangan naik taksi khas ethiopia dimulai.
Tiga Taksi mengantar kita, karena ada tiga laki-laki dalam rombongan masing-masing masuk dalam 1 taksi. Saya satu taksi dengan rekan dari Nigeria, Italia dan Swiss. Nah untuk kondisi taksinya silahkan lihat gambar, yang jelas ACnya AC alam (Angin Cendela). Taksipun mulai konvoi dan satu persatu menghilang di tengah ruwetnya lalu lintas Addis Ababa. Tujuan kami adalah tempat yang d isebut Former Women’s Fuelwood Carriers Project.
Former Women’s Fuelwood Carriers Project
inisiatif LSM untuk membantu perempuan yang tadinya bekerja sebagai pemanggul kayu bakar dan menjualnya untuk mendapat penghasilan untuk meninggalkan pekerjaan itu dan mencari sumber lain untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk pelestarian lingkungan dengan mengurangi pembakaran kayu, skill building dan income generating bagi perempuan-perempuan tersebut. Saat kami tiba disini hari situasi sudah cukup sepi. Lokasinya terletak tidak jauh dari US embassy dekat pasar Entoto. Disini kami workshop tenun dan mereka juga menjual hasil tenunannya sebelum di jual ke pedagang besar. Hasil tenunan mereka cukup rapi dengan berbagai motif dan warna, rata-rata hasilnya berupa selendang yang dijual dengan harga antara 20-30 Birr tergantung kerumitan motifnya.
Selesai dari tempat ini, mulailah penderitaan kami. Taksi antik yang kami tumpangi tidak mau distarter alias MOGOK. Si supir minta kami turun dari taksi dan berusaha untuk starter. satu persatu anak-anak, orang dewasa, laki-laki dan perempuan mulai mengerubungi kami. Si supir meminta kami mendorong, cuma beratnya minta ampun karena posisi taksi ada di tanjakan. Sesudah keringetan dorong sana-sini gak berhasil, si supir pun menyerah dan mulai minta bantuan rekan lain. melihat Saya pegang kamera mulailah kerumunan ini minta di foto. Sebenarnya orang Ethiopia ini ramah-ramah dan suka sekali ngobrol. nah situasinya sama, cuma mereka kalau sudah difoto selalu ingin lihat hasilnya, walhasil kayak saya dikerubungi kayak makanan dikerubungi lalat. Akhirnya si taksi pun bisa distarter tepat saat makin banyak orang yang mengerubungi kami. Teman-teman yang menunggu di taksi lain juga sudah mulai tidak sabar, akhirnya 3 taksi ini split, ada yang kembali ke hotel, ada yang jalan mencari kerajinan kulit (katanya sih daerah stadium tapi saya juga gak ngerti) dan kami memutuskan kembali ke hotel namun si supir masih menawarkan untuk melihat satu tempat lagi yang menjual baju katun untuk laki-laki. Saya tidak ingat nama tempatnya tapi disini saya bisa dapat baju kaos, dan kopi untuk oleh-oleh. Teman lain bisa dapat baju katun yang harganya cukup reasonable sekitar 300-500 Birr, juga dengan tawar menawar yang alot.
Sebenarnya banyak sekali tempat dan gedung yang bisa dikunjungi silahkan lihat saja beberapa foto di bawah ini. As people said “Pictures Speak Thousands of Story”
(bersambung lagi)
Leave a Reply